Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang manusia fitrah
yang sejak awal kejadian baginda s.a.w senantiasa bergerak di atas landasan
fitrah insan yang suci murni. Fitrah yang suci bersih lagi murni akan
mencetuskan perjuangan dalam jiwa apabila insan itu dibaluti oleh suasana yang
penuh dengan kemunkaran, kezaliman, penyembahan berhala dan benda-benda alam,
perebutan kekuasan, kegilaan kepada harta dan bermacam-macam adat serta
kebudayaan yang menyimpang jauh dari sifat fitrah yang asli. Perjuangan dalam
jiwa Nabi Muhammad s.a.w sampai ke puncaknya ketika baginda s.a.w mencapai usia
36 tahun. Kejahilan, kesyirikan, kekafiran, kemunkaran dan kezaliman yang merajalela
di dalam masyarakat menjadi beban yang sangat berat menghimpit jiwa fitrah
baginda s.a.w. Tekanan tersebut menjadi lebih kuat lantaran segala kerusakan
itu terjadi kepada orang-orang yang hampir dengan baginda s.a.w, kaum keluarga
dan masyarakat yang sama keturunan dengan baginda s.a.w, sedangkan jalan untuk
menyelamatkan mereka tidak terbuka. Jiwa fitrah yang sangat mengasihi sesama
manusia sangat menginginkan keselamatan dan kesejahteraan kepada sekalian
manusia. Jiwa yang seperti inilah yang selalu menderita ketika melihat kerusakan
yang terjadi kepada orang lain.
Fitrah yang suci murni memiliki kemampuan yang istimewa yaitu kemampuan
untuk mengenal dan mengerti tentang sesuatu yang benar dan juga memiliki kemampuan
untuk bergerak kepada yang benar itu. Pada waktu mencapai usia 36 tahun
Nabi Muhammad s.a.w diseret oleh fitrah suci baginda s.a.w ke Gua Hiraa,
kira-kira 10 km ke utara Makkah. Gua tersebut terletak di atas Gunung Hiraa,
kira-kira 20 meter dari puncak gunung. Seorang lelaki yang kuat memerlukan waktu
kira-kira 40 minit untuk mendaki dari bawah hingga ke aras Gua Hiraa. Jalan
masuk ke dalam gua tersebut sangat sempit, di celah dua buah ketulan batu besar
yang hampir bertaut. Seseorang yang ingin melaluinya perlu menyusup dengan
bersusah payah. Setelah mampu melamapui jalan yang sempit itu seseorang akan
masuk ke dalam satu ruang kosong yang sempit juga. Ruangnya tidak memadai untuk
seorang manusia tidur dengan leluasa di dalamnya.
Gua tersebut disembunyikan oleh batu-batu besar, hampir-hampir tidak ada
cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Batu-batu di sekitar gua itu berwarna
hitam kemerah-merahan yang bisa menimbulkan rasa takut dalam hati siapapun yang
menyaksikan pemandangan di sana. Bagian yang terdapat Gua Hiraa merupakan
bagian yang paling menakutkan di antara semua bagian Gunung Hiraa.
Tarikan Fitrah telah membawa Nabi Muhammad s.a.w ke tempat yang tidak ada
manusia mau pergi, apa lagi tinggal beberapa hari di sana siang dan malam.
Bulan Ramadan merupakan waktu yang paling baginda s.a.w gemari berkhalwat di
Gua Hiraa. Baginda s.a.w berulang-kali ke Gua Hiraa sampai wahyu yang pertama
turun ketika usia baginda s.a.w mencapai 40 tahun.
Suasana Gua Hiraa menceritakan bahwa hanya insan yang berjiwa besar dan
sangat berani serta bersemangat baja saja yang sanggup tinggal di sana seorang
diri, siang dan malam dan berhari-hari lamanya. Hanya tawakal dan keyakinan
yang teguh membuat seseorang mampu bertahan di dalam kegelapan Gua Hiraa, tidak
dapat melihat binatang bisa seperti ular dan jengking yang mungkin muncul pada
bila-bila masa saja. Insan yang bisa tinggal di sana pastilah di dalam jiwanya
tidak ada sebesar zarah pun rasa takut kepada makhluk, kecintaan kepada dunia,
harta benda, pangkat dan kemuliaan. Hanya jiwa Islam (berserah diri sepenuhnya
kepada Allah s.w.t) yang sempurna dapat tinggal sendirian di dalam Gua Hiraa.
Tujuan, harapan dan pergantungan hanyalah Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa.
Semakin mendekati usia 40 tahun semakin sering Nabi Muhammad s.a.w
mengunjungi Gua Hiraa. Apabila berada di luar gua, terutamanya pada waktu
malam, baginda s.a.w merenungi bangunan alam maya, melihat kerapian susunannya
dan keindahan gubahannya. Apabila berada di dalam gua baginda s.a.w merasakan
ketenangan, kedamaian dan kelezatan. Gua Hiraa yang gelap gulita dan sunyi sepi
memisahkan baginda s.a.w dari seluruh alam dan makhluk. Kegelapan membungkus
jasad sampai pengaruh jasad tidak lagi menghijab hati nurani. Apabila terpisah dari
segala yang maujud, fitrah suci akan merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah
s.w.t. Cahaya fitrah yang suci lagi murni memancar dengan terang benderang
menyuluh ke seluruh pelosok alam maya menyaksikan dengan jelas apa yang tidak
mampu dipandang dengan mata. Tiap sesuatu menjadi terang benderang di dalam
sinaran fitrah suci Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada satu zarah pun yang
terlindung dari pandangan mata hati baginda s.a.w. Semuanya jelas dan nyata
namun, masih ada satu yang tidak dapat disingkap oleh fitrah, walaupun
seseorang itu manusia suci.
Fitrah mampu menyingkap rahasia kemanusiaan sehingga manusia bisa membentuk
tatasusila kehidupan yang sesuai untuk dijalani oleh semua umat manusia. Fitrah
bisa membentuk sistem moral yang baik. Fitrah dapat menguruskan urusan negara
dan perdagangan. Fitrah dapat membuka alam maya dan benda-benda alam. Tetapi
apabila berhadapan dengan Pencipta manusia dan alam sekaliannya dan juga
Pencipta fitrah itu sendiri maka fitrah hanya mampu berkata, “Allah!” dan masuk
kepada penyerahan tanpa takwil.
Apa yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w di Gua Hiraa pernah dialami juga
oleh Nabi Ibrahim a.s, sebagaimana diceritakan oleh al-Quran:
"Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada
Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya
menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yakin. Maka
ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang
(bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian
apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak
suka kepada yang terbenam hilang.” Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit
(menyinarkan cahayanya), ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu
terbenam berkatalah ia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk
oleh Tuhanku, niscaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila ia
melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah ia: “Inikah
Tuhanku? Ini lebih besar!” Setelah matahari terbenam, ia berkata pula: “Wahai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan
(Allah dengannya). Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang
menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah
aku dari orang-orang yang menyenkutukan Allah (dengan sesuatu yang lain)”. (
Ayat 75 – 79 : Surah al-An’aam )
Tafakur membawa Nabi Ibrahim a.s berhujah dengan pemahaman-pemahaman yang
menjadikan benda-benda alam sebagai tuhan-tuhan. Tafakur dan hujah berakhir
pada tahap: “Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan semua langit dan
bumi. Aku hadapkan dengan fitrah yang hanif. Aku tidak mempersekutukan-Nya
dengan apa-apa pun”. Tahap terakhir ini Allah s.w.t bukakan kepada para
hamba-Nya yang Dia kehendaki. Hadapkan fitrah suci kepada-Nya dengan penuh
keikhlasan tanpa mengadakan takwil mengenai-Nya dan tidak mengadakan sekutu
bagi-Nya. Dia sendiri menentukan bila dan bagaimana Dia berkehendak mengadakan
pembukaan kepada hamba-Nya.
Pada 17 Ramadan, tahun 41 dari umur Nabi Muhammad s.a.w, datanglah malaikat
Jibrail a.s membawa wahyu yang pertama dari Tuhan Azza wa Jalla, sebagai
menyempurnakan lagi fitrah Nabi Muhammad s.a.w, menaikkan fitrah insan kepada
derajat fitrah Muslim, menjawab segala yang terkilan, menguraikan segala yang
kusut dan membukakan segala yang tertutup. Sempurnalah kesempurnaan
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim dipersiapkan untuk menanggung
mahkota seluruh alam, menjadi penutup sekalian nabi-nabi, menjadi penyelamat
umat manusia dan dunia seluruhnya, menjadi rahmat kepada sekalian alam dan
menjadi kekasih Allah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Komentar Anda Dengan Tulisan Ini