Selamat Datang.............

Kamis, Juni 21, 2012

Jidat Hitam Benarkah Sunnah?


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
 عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
 عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).
 عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).
 عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
 عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
 يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalu muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.
http://nurisfm.blogspot.com/2012/05/jidat-hitam-benarkah-sunnah.html

Senin, Juni 04, 2012

6. JALAN KENABIAN


Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kelompok kaum Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung dari baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia karuniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus menerus, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka peroleh dari Nur Nabi Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat setelah priode sahabat adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung dari Rasulullah s.a.w tetap di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identitas mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di atas landasan kehambaan. Tidak ada percobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman rohani yang memabukkan. Banyak dari pengalaman yang ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah s.a.w.
Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung dari Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan tanpa bayangan.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita disiksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang ketika menerima jaminan syurga dari Rasulullah s.a.w. Syurga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir dari kecintaan mereka kepada Allah s.w.t yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenarnya hamba dengan Tuhan. Allah s.w.t mengajurkan  hamba-Nya menyintai akhirat dan syurga di samping benar-benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang dari dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di dunia ini. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan dunia ini, melaksanakan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, sungguh digembeling ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang ada pada mereka. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif  yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam masa satu tahun dari saat mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan dari melakukan shalat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa berkompromi dengan berhala. Mengenai shalat baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada Islam tanpa shalat.” Tentera Islam menempuh padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan syariat, termasuk shalat lima waktu. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga setelah baginda s.a.w. wafat. Kaum Muslimin wajib berpegang kepada syariat sampai akhir hayat mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas dari tuntutan syariat. Rasulullah s.a.w sendiri terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut adalah sesuatu yang terang dan jelas, tiada kesamaran. Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, berbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak peduli tentang tajalli Tuhan, Rahasia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperoleh yang demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelezatan di dalam shalat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak mengurus kehidupan harian sebagaimana layaknya manusia biasa tanpa perlu bersandar kepada kekeramatan. Mereka tetap dalam kesadaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dinamakan ilmu rahasia, ilmu isi atau yang seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak dipaksa berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekedar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampaui dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bershalat tahajjud adalah lebih baik. Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan orang-orang mengikutinya. Orang khusus juga bisa mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik maksyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Cinta yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah s.w.t berkaitan dengan kecintaan kepada peraturan Allah s.w.t dan makhluk-Nya. Tujuannya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t (syariat) sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah s.w.t karuniakan yang lebih baik dan lebih benar dari semua itu. Dikaruniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t karuniakan kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih dari bida’ah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikaruniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya dari gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang benar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan stempel-Nya (atas nama-NYA) di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam dari penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t. Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang rumit-rumit. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar cinta Allah s.w.t dan hampir dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk dengan menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia. Baginda s.a.w bekerja keras untuk mengobati penyakit-penyakit yang dihadapi oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem urusan masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, sesuai dengan akal budi manusia, mengimbangkan soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w membetulkan aspek lahiriah yang telah diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh dari zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran secara langsung dari baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan dari cara berkhalwat sendirian jauh dari Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih lebih dituntut dari mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia dari neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan faktor-faktor yang membentengi umat manusia dari sampai kepada kebenaran. Banyak golongan yang pada mulanya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia dari api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada aspek akhlak (nilai murni kemanusiaan) semata-mata tanpa tauhid, tidak akan memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti kefanatikan kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian jiwa dengan anasir keduniaan akan menarik manusia kembali kepada kerusakan akhlak. Banyak manusia yang memulai perjalanan mereka dengan baik sehingga memperoleh akhlak yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diisi oleh bermacam-macam anasir keduniaan dan kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas untuk membebaskan negara mereka dari penjajahan. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tidak diisi akidah itu bertukar menjadi tamak kekuasaan dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulai perniagaan mereka secara  jujur sehingga orang banyak memberi sokongan kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisi dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menimbun harta tanpa batasan sehingga harta orang-orang yang diamanahkan kepada mereka juga diselewengkan.
Revolusi akhlak akan hancur jika  ia tidak diiringi dengan revolusi akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya tarik kepada kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang berminat di bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan tasauf. Apabila bercerita tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan tasauf sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya digolongkan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan tasauf seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan.
Pemahaman tentang kewalian seperti ini harus dibetulkan. Harus diketahui bahwa orang yang menerima Islam secara langsung dari Rasulullah s.a.w adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar pengajaran dari baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak ada kewalian yang lebih tinggi dari kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian yang muncul setelah sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam golongan nama-nama wali Allah peringkat tertinggi yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, yang mendahuluinya adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan banyak lagi yang tergolong di dalam golongan wali-wali Allah peringkat tertinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai golongan nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam golongan wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Kebanyakan orang hendaknya jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang berada pada jalan kenabian seperti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani dinamakan wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengakuan dan sanjungan dari al-Quran dan didukung oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan mereka hanya dibesarkan oleh manusia sendiri, bukan pengakuan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama dari wali yang datang kemudian baik dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini mesti terhunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali peringkat tertinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian dari mereka telah disebut namanya oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti para sahabat baginda s.a.w sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi’e dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang dimasa oleh Abu Mukur yang ada zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.

Rabu, Mei 30, 2012

JALAN PARA SAHABAT R.A


Kaum Muslimin yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w telah menunjukkan kecemerlangan dalam bidang apa saja yang mereka geluti dan suasana apa saja yang mereka berada di dalamnya. Mereka mampu bertahan ketika menghadapi ujian bala bencana, menanggung penghinaan, ejekan, penentangan dan penyiksaan sehingga mereka terpaksa mengarungi lautan ke Habsyah dan menempuh padang pasir ke Yasrib demi menyelamatkan agama mereka. Di hadapan Raja Habsyah, Ja’afar bin Abu Talib selaku ketua Muhajirin di Habsyah, telah memberi penerangan lengkap dan jelas mengenai Nabi Muhammad s.a.w dan agama Islam, mematahkan hujah wakil pihak Quraisy yang menuntut agar kaum Muslimin dihantar pulang ke Makkah. Jelas sekali para sahabat Rasulullah s.a.w bukan saja memiliki ketahanan jiwa menanggung kesusahan malah mereka juga memiliki kecerdasan akal fikiran. Mereka adalah duta-duta Rasulullah s.a.w, menterjemahkan sifat-sifat baginda s.a.w yaitu benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka bisa berdiri di hadapan siapapun untuk menyampaikan kebenaran secara bijaksana. Apa yang terbit dari mereka adalah bakat dan sifat-sifat Roh Islam yang murni yang memenuhi seluruh rongga tubuh dan ruang hati mereka. Kemurnian Roh Islam yang mengendalikan kehidupan mereka menyebabkan mereka Islam pada perkataan, Islam pada perbuatan dan Islam pada amalan hati.
Kemurnian Roh Islam lahir apabila ia digilap dengan cara mengesakan Allah s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya dengan beramal salih dan bertakwa serta mengasihi saudara Muslim lainnya sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Apabila jalan atau tarekat tersebut diikuti akan muncullah Roh Islam yang sejati dan murni. Kemurnian itu diuji pula dengan dihadapkan kepada ujian bala bencana, penekanan pada zahir dan batin. Jika ujian bala tidak mencedrakan iman maka sahlah kemurnian Roh Islam seseorang Muslim itu. Begitulah tarekat yang didukung oleh kaum Muslimin yang diasuh secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Mereka tundukkan jasad kepada pemerintahan roh dan roh ditundukkan kepada perintah Allah s.w.t yang disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Roh Islam tidak dikuasai oleh sesuatu melainkan kekuasaan Allah s.w.t. Roh Islam merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah s.w.t, Rasul-Nya dan agama-Nya. Apa saja kekacauan yang melanda dunia tidak akan sampai kepada Roh Islam selagi orang Islam tidak menjual akhiratnya untuk kebendaan dan duniawi.
Kaum Muslimin dibimbing oleh Nabi Muhammad s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w dibimbing oleh Jibrail a.s. Jibrail a.s dibimbing oleh Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w telah memasuki satu jalan khusus untuk baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w memasuki alam khalwat sewaktu berusia 36 tahun. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa melalui bimbingan Allah s.w.t, sebagaimana firman-Nya: Dan didapati-Nya engkau mencari-cari (jalan yang benar), lalu Ia memberikan hidayah petunjuk (dengan wahyu – al-Quran)? ( Ayat 7 : Surah adh-Dhuha )
Tuhan yang memimpin Nabi Muhammad s.a.w ke Gua Hiraa. Pimpinan yang demikian dinamakan Tarikan Rahmani atau tarikan yang langsung dari Allah s.w.t. Ketika mencari kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada pendeta Yahudi dan Nasrani yang terkenal alim mengenai kitab-kitab dari langit dan juga ilmu falsafah. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa yang gelap gulita, meletakkan sepenuh harapan dan bergantung kepada Allah s.w.t. Apa yang dicari oleh Nabi Muhammad s.a.w tidak dapat diurai dan dibuka oleh siapapun kecuali Allah s.w.t. Apa yang Allah s.w.t karuniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w melebihi apa yang mampu diberikan oleh manusia.
Setelah fitrah suci baginda s.a.w menerima pembukaan dengan kedatangan wahyu yang pertama, selesailah urusan berkhalwat. Khalwat di Gua Hiraa telah memberikan makna yang besar kepada kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. Latihan tersebut menjadi asas yang kukuh di dalam pembentukan keperibadian dan kekuatan jiwa Nabi Muhammad s.a.w. Hasilnya rohani dan jasmani baginda s.a.w mampu bertahan menerima kunjungan wahyu yang maha berat dan ia juga membuat baginda s.a.w mampu melakukan Israk dan Mikraj di kemudian hari nanti. Tanpa kekuatan yang diperoleh di Gua Hiraa mungkin jasad dan roh baginda s.a.w akan hancur bila ‘dihempap’ oleh wahyu dan bila baginda s.a.w memasuki alam tinggi ketika Mikraj. Hanya golongan nabi-nabi yang dipersiapkan untuk menjadi cukup kuat bagi menerima kedatangan wahyu dan juga memasuki alam tinggi. Golongan yang selain nabi-nabi, walaupun siddiqin dan salihin, mereka hanya menerima percikan wahyu dan memasuki alam tinggi secara pengalaman kerohanian seperti zauk dan kasyaf, tidak secara langsung seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Oleh yang demikian siddiqin dan salihin juga wajib merujuk kepada wahyu di dalam menentukan kebenaran sesuatu perkara. Siddiqin yang paling utama, Abu Bakar as-Siddik, juga takluk kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada fikiran, ilham dan kasyaf orang siddik dan salih yang bebas dari wahyu. Kenyataan ini dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w tidak meninggalkan khalwat sebelum wahyu datang. Para sahabat tidak meninggalkan Rasulullah s.a.w, senantiasa mentaati baginda s.a.w dalam perkara apa pun.
Setelah wahyu datang tamatlah peringkat khalwat yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w sebagai penterjemah wahyu yang paling arif menyampaikan ajaran wahyu kepada pengikut-pengikut baginda s.a.w tanpa membawa mereka memasuki proses khalwat baik di Gua Hiraa atau di gua yang lainnya. Tarekat sebelum kedatangan wahyu dengan sesudah kedatangan wahyu adalah berbeda. Wahyu membawa Nabi Muhammad s.a.w dan pengikut baginda s.a.w memasuki tarekat kehidupan harian di atas muka bumi ini, dengan bertauhid dan beramal salih serta bertakwa. Semua itu dilakukan dengan mengakui dan memelihara keberadaan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
Golongan hamba sahaya yang telah memeluk agama Islam mengakui kedudukan mereka sebagai hamba sahaya. Tidak ada hamba sahaya yang memeluk Islam lari dari tuan mereka. Mereka tetap menghormati institusi/lembaga kemasyarakatan sekalipun telah memilih Islam yang mempunyai institusinya sendiri. Golongan pedagang terus juga berdagang. Golongan pertukangan dan pertanian terus juga bertukang dan bertani. Tidak ada di antara mereka yang meninggalkan urusan kehidupan harian lantaran mau berkhalwat secara khusus seperti yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w. Islam tidak mengubah kehidupan harian. Apa yang Islam buat adalah menyusun kehidupan yang ada itu agar ia menjadi jalan yang lurus menuju kebaikan di dunia dan di akhirat dan seterusnya menemui Tuhan Rabbul Jalil.
Muslim generasi pertama telah membina asas jalan yang lurus dengan keringat dan darah mereka, dengan harta dan jiwa mereka. Generasi yang datang kemudian dapat berjalan di atas jalan lurus yang sudah siap di bina, tidak perlu lagi membina jalan yang lain. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w yang berjuang menegakkan jalan yang lurus itu tidak melepaskan sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana dalam segala urusan termasuk ketika bertawakal, berserah diri dan beriman kepada Qada dan Qadar. Mereka beriman kepada takdir dan berserah diri secara bijaksana dan benar. Mereka melihat tanda mereka berserah diri kepada Tuhan adalah mereka menggunakan segala bakat dan kemampuan yang Tuhan karuniakan kepada mereka untuk bergerak di atas jalan yang lurus, melakukan amal salih dan bertakwa. Mereka melihat bahwa tanda mereka beriman kepada takdir adalah mereka menggunakan segala kekuatan untuk mempertahankan kebenaran dan yang benar karena yang demikian itulah takdir yang paling benar, sementara yang lain itu hanyalah bayangan takdir yang samar-samar dan tidak layak diimani.
Nabi Muhammad s.a.w telah menunjukkan contoh teladan yang benar mengenai konsep beriman kepada takdir dan bertawakal. Baginda s.a.w cenderung bergerak dan bartindak di dalam batas kemanusiaan biasa dengan menggunakan bakat kemanusiaan seperti orang banyak. Pada suatu malam pemuda-pemuda Quraisy mengepung rumah baginda s.a.w untuk membunuh baginda s.a.w, baginda s.a.w telah menyuruh Saidina Ali bin Abu Talib tidur di tempat baginda s.a.w biasa tidur dan Saidina Ali diselimuti dengan kain selimut baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w menggunakan strategi, kebijaksanaan dan siasat kemanusiaan untuk mengalahkan orang-orang yang mau membunuh baginda s.a.w itu. Setelah keluar dari rumah, baginda s.a.w bersama-sama sahabat paling akrab, Saidina Abu Bakar, bersembunyi di dalam Gua Saur. Rancangan persembunyian di sana telah di atur dengan sangat rapi sehingga rahasia tersebut tidak bocor. Semasa di dalam persembunyian itu maklumat senantiasa di hantar kepada baginda s.a.w oleh anak lelaki Saidina Abu Bakar. Makanan disediakan oleh bekas hamba Saidina Abu Bakar yang mengembalakan kambing Saidina Abu Bakar di kaki Bukit Saur. Semua jejak yang dibuat oleh Rasulullah s.a.w dan Saidina Abu Bakar dihapuskan sehingga tidak ada tanda-tanda yang mereka bersembunyi di Gua Saur. Sekali lagi kaum musyrikin dikalahkan oleh kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.
Sewaktu keadaan di Makkah telah tenang sedikit dan telah ada ruang untuk Rasulullah s.a.w bergerak, pengetahuan tersebut dengan cepat dihantarkan oleh anak Saidina Abu Bakar dan dengan segera pula Rasulullah s.a.w bartindak di atas kesempatan yang terbuka itu. Unta-unta Saidina Abu Bakar yang kuat, yang dijaga khusus untuk tujuan hijrah itu, dan bekal makanan dengan segera dihantarkan ke Gua Saur. Rasulullah s.a.w bersama Saidina Abu Bakar, dengan dipandu oleh jurupandu yang mahir, bersegera meninggalkan Gua Saur. Pergerakan yang begitu cepat hanya bisa terjadi dengan rancangan yang rapi dan bijaksana. Setelah meninggalkan Gua Saur baginda s.a.w mengambil jalan yang bertentangan dengan arah Yasrib. Jalan yang paling sukar dan paling tidak di sangka telah dipilih oleh Rasulullah s.a.w. Selepas melewati kawasan bahaya barulah Rasulullah s.a.w membelok ke arah Yasrib.
Tidak ada pengkaji sejarah yang tidak merasa kagum dengan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w. Kebijaksanaan baginda s.a.w sudah tampak nyata ketika baginda s.a.w masih muda belia. Kekuatan akal baginda s.a.w dapat mengalahkan kekuatan akal semua manusia. Semua akal tunduk kepada akal yang mendapat pembukaan dari Allah s.w.t. Kebijaksanaan merupakan mukjizat Rasulullah s.a.w yang sangat jelas. Ketika suku-suku Quraisy sudah sampai kepada peringkat mau berperang sesama mereka akibat kebuntuan akal mereka menentukan siapakah yang layak meletakkan Hajaral Aswad ke tempat asalnya setelah Kaabah dibina, Nabi Muhammad s.a.w yang pada masa itu masih seorang pemuda, dengan mudah saja menyelesaikan pertikaian tersebut, tanpa memerlukan waktu untuk berfikir, tanpa meminta pendapat siapapun dan tanpa ragu-ragu baginda s.a.w mengeluarkan formula yang diterima oleh semua orang. Kebijaksanaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna lagi setelah mendapat penerangan dari wahyu. Tidak ada sepatah pun perkataan baginda s.a.w yang sia-sia. Tidak ada satu pun perbuatan baginda s.a.w yang tidak bermanfaat. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja di dunia ini yang setiap patah perkataan dan setiap perbuatannya direkodkan. Hingga kini belum ditemukan kekhilafan pada perbuatan dan perkataan baginda s.a.w.
Rasulullah s.a.w melaksanakan segala tugas dengan cemerlang, dengan menggunakan bakat dan kemampuan kemanusiaan. Memang benar baginda s.a.w dikaruniakan mukjizat tetapi mukjizat hanya datang setelah baginda s.a.w menggunakan bakat/kemampuan kemanusiaan dalam melaksanakan tugas. Baginda s.a.w tidak melepaskan sifat-sifat kemanusiaan lantaran kunci mukjizat berada dalam tangan. Bahkan kemampuan baginda s.a.w menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan menggunakan kemampuan kemanusiaan merupakan mukjizat yang sangat luar biasa. Baginda s.a.w telah membuktikan bahwa seseorang insan yang dapat mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan kehambaan dalam segala keadaan dan makam itulah perkara yang sangat luar biasa. Di bumi, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Di langit, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Bahkan di hadapan Allah s.w.t, Nabi Muhammad s.a.w sujud sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya. Tidak terbalik pandangan baginda s.a.w lantaran berlaku perubahan kedudukan dan makam.
Peristiwa hijrah memberi pengajaran yang sangat berguna kepada umat manusia agar mereka menghargai bakat dan kemampuan kemanusiaan yang Allah s.w.t karuniakan kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w telah mengajarkan bahwa menggunakan akal fikiran, mengadakan strategi dan rancangan serta melakukan ikhtiar dan usaha adalah sebagian dari paket beriman kepada takdir, bertawakal dan berserah diri. Jika ada orang yang menafsirkannya secara lain tentu tafsirannya berbeda dengan tafsir yang dikeluarkan secara nyata melalui perbuatan oleh Rasulullah s.a.w.
Sebelum kedatangan wahyu Nabi Muhammad s.a.w memasuki amalan berkhalwat. Setelah wahyu datang baginda s.a.w dibimbing oleh wahyu untuk membimbing umat manusia. Baginda s.a.w membawa pengikut-pengikutnya menempuh lautan bala bencana, menanggung siksaan dan menghadapi tentangan karena semua itu adalah batu ujian yang menggilap iman. Tarekat khalwat sudah berubah menjadi tarekat kehidupan harian yang penuh dengan ujian bala bencana.
Rasulullah s.a.w dan Muslim generasi pertama berjalan di atas ranjau kehidupan, menghadapi kezaliman dan menanggung penderitaan. Keluarga Yasir yang menjadi hamba kepada suku Banu Makhzum telah disiksa dengan sangat hebat sekali. Mereka dijemur di lembah Makkah diwaktu panas terik dengan diletakkan batu di atas dada mereka. Rasulullah s.a.w menziarahi keluarga Yasir dan memberikan kekuatan rohani kepada mereka. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Bergembiralah wahai keluarga Yasir. Kamu akan mendapat tempat di dalam syurga”. Ucapan Rasulullah s.a.w itu menjadi penawar yang sangat mujarab, memberi kekuatan kepada keluarga Yasir untuk menanggung penderitaan yang sedang menimpa mereka. Mereka mampu mempertahankan iman mereka dengan penuh kesabaran. Mereka telah terhibur dengan janji yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka sedikit pun tidak berasa ragu dengan jaminan Rasulullah s.a.w itu. Mereka telah mencium bau syurga dan ia menjadikan mereka tenang, reda dengan takdir Tuhan. Kebahagiaan syurga yang menunggu di hadapan menyapu segala kesakitan yang sedang dialami.
Walaupun disiksa dengan hebatnya oleh Banu Makhzum namun keluarga Yasir tidak bergeser dari kepercayaan mereka. Usaha untuk membawa mereka kepada kekufuran hanya sia-sia. Orang Banu Makhzum yang gagal mengubah akidah keluarga Yasir, menjadi kerasukan syaitan. Apabila syaitan sudah menguasai mereka sepenuhnya hilanglah keperimanusiaan mereka. Dada Yasir direjam dengan tombak. Samyah, isteri Yasir, menjadi lebih bersemangat dan berani menentang tuannya. Banu Makhzum tidak tahu hendak buat apa lagi dengannya. Samyah diserahkan kepada Abu Jahal yang ikut serta menyiksa keluarga Yasir itu. Abu Jahal yang bersekutu dengan iblis, mengambil sebilah tombak dan dengan sekuat-kuat tenaganya merejamkan tombak itu ke bagian kemaluan Samyah hingga tembus ke belakang. Keluarlah dua roh suci, naik kepada Tuhan mereka, membawa kemenangan di dalam mempertahankan tauhid. Yasir dan isterinya Samyah menjadi syuhada yang pertama dalam Islam. Nama mereka yang diukir dengan tinta emas tidak mungkin padam dari lembaran sejarah perjuangan Rasulullah s.a.w. Yasir dan Samyah mendahului para syuhada yang lain, menunggu mereka di pintu syurga.
Selain Yasir dan keluarganya, Bilal bin Rabah dan ibunya juga menerima siksaan yang berat dari tuan mereka. Mereka menjadi hamba kepada Umayyah bin Khalaf. Bilal menghadapi segala penyiksaan dari tuannya, lantas ia berkata: “Walaupun tuan cincang lumat badan saya, tuan pisahkan roh dari tubuh saya, namun agama ini tetap saya anut dan saya pertahankan sekuat tenaga. Tubuh saya tidak memerlukan makanan yang enak atau pakaian yang cantik atau kehidupan yang bebas. Roh saya yang memerlukan makanan dan pakaian dan perlu disucikan. Kini saya sudah temui yang dapat memenuhi keperluan  roh saya sebanyak mungkin. Saya tidak memerlukan apa-apa lagi dari tuan. Sia-sia saja tuan menghalangi saya dari mendapatkan yang demikian”.
Ketegasan Bilal menambahkan kemarahan Umayyah. Tangan Bilal diikat dan lehernya dibelit dengan rantai yang berduri. Bilal tidak diberi makan dan minum. Usaha yang kejam itu gagal meruntuhkan iman Bilal. Kemudian Bilal diseret mengelilingi kota Makkah. Orang banyak mengejeknya sambil melemparinya dengan batu. Tindakan begini juga tidak meruntuhkan iman Bilal. Ketika sampai menghampiri Kaabah Bilal menjerit sekuat hatinya: “AHAD! AHAD! AHAD!” Perkataan inilah yang sangat dibenci oleh kaum musyrikin Quraisy. Bilal tidak putus-putus menyebut Ahad, Ahad, Ahad. Bilal dibawa pula ke padang pasir yang sangat panas. Beliau dipakaikan baju perang (baju besi). Bilal yang dipakaikan baju besi itu dijemur di tengah panas yang sangat terik. Iman Bilal terus memancar. Perkataan Ahad terus keluar dari celah bibirnya. Orang musyrikin sudah tidak dapat menahan geram lagi. Mereka mengangkat sebuah batu besar dan diletakkan di atas dada Bilal. Nun di atas sana matahari ‘menyala’. Di bawah juga pasir ‘membara’. Di antara keduanya adalah Bilal yang berpakaian baju besi dan ditindih pula oleh batu besar. Bilal tidak nampak matahari, pasir atau batu besar. Bilal tidak merasakan kepanasan atau keberatan. Bilal hanya melihat satu saja yaitu Yang Maha Satu, Maha Esa, Ahad! Bilal menikmati kelezatan menyaksikan Yang Maha Esa. Dari celah bibirnya, dengan nada yang perlahan dan tersekat-sekat, masih lagi keluar ucapan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Dengarlah Bilal bermunajat: “Jika mereka mau membunuh aku agar aku menyekutukan Tuhan ar-Rahman, biarlah aku mati daripada aku berbuat demikian. Aku lebih takut menyekutukan Allah. Allahumma! Tuhan Ibrahim, Tuhan Yunus, Tuhan Musa dan Tuhan Isa. Selamatkan iman daku!”
Bilal telah lulus ujian makam keesaan. Bilal sudah memperoleh pancaran Ahadiyyah. Allah s.w.t menghantarkan wakil-Nya untuk menyelamatkan hamba-Nya yang telah membuang segala sesuatu dari hatinya selain Allah s.w.t. Abu Bakar, lelaki benar lagi jujur, datang ke tempat Bilal yang sedang hebat disiksa. Abu Bakar mau membeli Bilal yang imannya sudah dibeli oleh Allah s.w.t. Apakah Umayyah mau melihat Bilal mati dan dia rugi? Umayyah mengambil peluang yang ditawarkan oleh Abu Bakar. Bilal dijual kepada Abu Bakar dengan harga lima kali lebih mahal dari harga biasa seorang hamba. Abu Bakar membayarnya tanpa tawar menawar. Abu Bakar mencoba mengangkat batu yang di atas dada Bilal tetapi tidak berdaya. Beliau naik berang. Dibentaknya orang-orang yang berada di tempat itu. Barulah mereka datang mengangkat batu tersebut. Baju besi juga dilepaskan dari tubuh Bilal. Bilal sudah bebas dari matahari yang menyala dan pasir yang membara. Bilal sudah bebas dari batu yang menindih dadanya. Bilal sudah bebas dari baju besi yang membungkusnya. Bilal bertanya kepada Abu Bakar: “Adakah tuan membeli saya untuk menjadi hamba tuan?” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, wahai Bilal engkau aku bebaskan”. Bebaslah Bilal sepenuhnya dari segala bentuk perhambaan kecuali kehambaan terhadap Allah s.w.t. Ibu Bilal, Hamamah, juga dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Hamba-hamba yang dibeli dan dibebaskan oleh Abu Bakar adalah Amir bin Furahah (lelaki yang mengembala kambing di kaki Gunung Saur sewaktu Rasulullah bersembunyi di sana sebelum berangkat ke Madinah), Abu Fukaihah, Zinnirah, Ummu Ubais, an-Nahyah dan anak perempuannya, Khabbab bin al-Aratti (lelaki yang berada bersama-sama adik perempuan Umar al-Khattab dan suaminya ketika Umar menerpa masuk dan merampas lembaran yang tertulis ayat al-Quran yang sedang dibaca oleh adiknya) dan seorang hamba perempuan Banu Zuhrah.
Rasulullah s.a.w dan Muslim telah menjalani tarekat ujian bala. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman, rumah tangga, kaum keluarga, harta benda dan pekerjaan demi menyelamatkan akidah mereka. Walau bagaimana keras ujian yang mereka terima namun, mereka tetap berpijak di atas bumi yang nyata. Tarekat mereka adalah kekhalifahan di bumi. Mereka beriman kepada akhirat dan perkara ghaib dan mereka juga beriman kepada perkara kehidupan harian di dalam dunia ini yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka menuju akhirat dengan menunggang dunia. Tidak ada di antara mereka yang lari dari dunia lantaran cinta akan Allah s.w.t dan akhirat. Mereka adalah orang-orang yang diakui oleh Rasulullah s.a.w sebagai golongan yang paling baik pernah wujud/ada di atas muka bumi. Itulah golongan yang menggabungkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, golongan yang menjadikan dunia sebagai kebun akhirat. Mereka menyintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa membuang dunia dan akhirat. Mereka mendukung tarekat Islam yaitu mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan melakukan kehambaan kepada Allah s.w.t dengan sebenar-benar kehambaan serta melakukan amal salih dan bertakwa.
Mungkin tidak seorang pun yang datang kemudian telah mengalami zauk atau kefanaan yang dialami oleh Bilal sewaktu dijemur di panas terik dengan  berpakaian baju besi dan ditindih batu besar di atas dadanya. Dalam puncak kefanaan dan zauk Bilal mengucapkan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Suasana ketuhanan yang menguasai Bilal dan yang sedang disaksikan oleh mata hati Bilal menyebabkan terucap perkataan AHAD bukan “ana al-Haq!” Masih adakah umat kemudian yang semulia Bilal, juru azan Rasulullah s.a.w? Bukankah pada malam Israk dan Mikraj Rasulullah s.a.w mendengar bunyi terompah Bilal di dalam syurga. Kemuliaan dan ketinggian derajat Bilal masih tidak mengatasi derajat Abu Bakar as-Siddik, sedangkan Abu Bakar tidak melalui makam fana dan zauk. Beliau r.a senantiasa di dalam keadaan jaga. Zauknya adalah mencintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Kefanaan beliau r.a adalah wahyu. Kebaqaan beliau r.a adalah ubudiah. Begitu juga halnya dengan Umar, Usman dan Ali. Jalan dimasa para sahabat itu adalah jalan yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w dan jalan demikian diistilahkan sebagai jalan kenabian.

Selasa, Mei 08, 2012

RASULULLAH S.A.W DAN PARA SAHABAT FANA DALAM WAHYU BAQA DALAM UBUDIAH


Pada hari Isnin 17 Ramadan bersamaan 6 Agustus 610 Masehi, ketika Nabi Muhammad s.a.w berusia 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari, datanglah malaikat Jibrail a.s kepada baginda s.a.w yang sedang berkhalwat di Gua Hiraa. Jibrail a.s yang muncul secara tiba-tiba itu terus berkata: “Baca!” Nabi Muhammad s.a.w menjawab: “Saya tidak tahu membaca”. Jibrail a.s terus menangkap Nabi Muhammad s.a.w. Disergapnya baginda s.a.w dengan kain selendang dan dipeluknya sehingga baginda s.a.w mengalami kesukaran untuk bernafas. Kemudian dilepaskannya dan disuruhnya baginda s.a.w membaca seperti yang pertama. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Sekali lagi Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w dan dilakukannya seperti pertama tadi. Pelukan Jibrail a.s kali ini lebih erat dari yang pertama tadi, menyebabkan baginda s.a.w hampir-hampir tidak dapat bernafas. Kemudian baginda s.a.w dilepaskan oleh Jibrail a.s dan disuruhnya lagi baginda s.a.w membaca. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Buat kali ke tiga Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w, menutup baginda s.a.w dengan kain selendang dan memeluk baginda s.a.w dengan erat. Perbuatan yang demikian sangat melelahkan baginda s.a.w bernafas. Setelah melepaskan baginda s.a.w buat kali ke tiganya, Jibrail a.s membacakan firman Allah :

Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk). Ia menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah,  Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. ( Ayat 1 – 5 : Surah al-‘Alaq )
Terpatrilah wahyu pertama di dalam dada Nabi Muhammad s.a.w. Sekali Jibrail a.s membacakan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w, wahyu tersebut akan melekat, terpahat pada hati baginda s.a.w, tidak akan hilang buat selama-lamanya. Baginda s.a.w mengikuti bacaan Jibrail a.s dengan fasih. Setiap huruf dan ayat yang baginda s.a.w bacakan membuka segala tutupan dan menguraikan segala simpulan yang tidak mampu diuraikan oleh fitrah baginda s.a.w selama baginda s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa. Apa yang tidak mampu disingkap oleh akal dan renungan batin sudah terjawab dengan kedatangan wahyu. Kebenaran yang disampaikan oleh wahyu adalah kebenaran yang muktamad.
Nabi Muhammad s.a.w menerima wahyu dengan sepenuh jiwa raga tanpa ada keraguan. Baginda s.a.w yakin dengan kebenaran berita dan janji yang wahyu sampaikan. Wahyu senantiasa turun membimbing baginda s.a.w serta memberi ketetapan hati, meneguhkan kepercayaan dan pendirian baginda s.a.w di dalam melaksanakan amanah yang Allah s.w.t serahkan kepada baginda s.a.w. Waktu wahyu turun kepada baginda s.a.w adalah 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui tujuh cara :
-       Cara yang pertama adalah mimpi yang benar. Apabila baginda s.a.w melihat sesuatu di dalam mimpi, pandangan yang kelihatan adalah terang seperti cuaca subuh. Apa yang baginda s.a.w saksikan di dalam mimpi benar-benar berlaku.
-       Wahyu cara ke dua dihantarkan oleh malaikat kepada hati baginda s.a.w. Baginda s.a.w mengetahui sesuatu secara spontan, tanpa berfikir atau merenung.
-       Wahyu cara ke tiga dibawa oleh malaikat Jibrail a.s yang menggunakan bentuk misal. Contohnya Jibrail a.s pernah memakai rupa salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w yang tampan wajahnya yaitu Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat inilah yang kemudian hari menjadi wakil Rasulullah s.a.w menyampaikan surat baginda s.a.w kepada Heraklius, penguasa kerajaan Roman Timur.
-       Wahyu cara ke empat yang datang kepada Rasulullah s.a.w seperti suara loceng. Wahyu cara inilah yang paling berat dan memenatkan baginda s.a.w. Baginda s.a.w pernah berpeluh pada musim dingin tatkala menerima kedatangan wahyu cara ke empat ini. Pernah satu ketika paha Rasulullah s.a.w sedang menindih paha Zaid bin Sabit ketika wahyu yang seperti suara loceng ini turun kepada baginda s.a.w. Zaid merasakan seolah-olah pahanya akan pecah menanggung paha Rasulullah s.a.w yang sedang menerima wahyu tersebut.
-       Wahyu cara ke lima datang kepada Rasulullah s.a.w dengan menderu seperti suara lebah.
-       Pada cara ke enam pula Jibrail a.s datang kepada Rasulullah s.a.w dalam rupanya yang asli.
-       Wahyu cara ke tujuh adalah penyampaian secara langsung dari Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w, tanpa perantaraan, seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa a.s.
Ketegasan dan keteguhan Rasulullah s.a.w menyampaikan dakwah melalui bimbingan wahyu tampak pada kata-kata baginda s.a.w kepada paman baginda s.a.w, Abu Talib, yang menyampaikan kepada baginda s.a.w permintaan kaumnya agar baginda s.a.w menghentikan pekerjaan dakwah. Baginda s.a.w memberikan jawaban yang tegas: “Wahai bapaku. Walaupun mereka meletakkan matahari pada bahuku yang kanan dan bulan pada bahuku yang kiri dengan maksud daku meninggalkan tugasku, tidak akan daku tinggalkannya sehinggalah agama ini menang atau daku binasa sebelumnya!”
Nabi Muhammad s.a.w tidak pernah melepaskan ketergantungan kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w memperoleh bermacam-macam kemuliaan dan ketinggian tetapi segala puji-pujian dikembalikan kepada Allah s.w.t semata-mata. Apabila baginda s.a.w dipuji oleh orang, baginda s.a.w mengembalikan pujian itu kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w sangat cermat dan tegas di dalam menanggung wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t baginda s.a.w melaksanakannya sendiri terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain melakukannya. Baginda s.a.w telah menunjukkan contoh teladan melalui diri baginda s.a.w sendiri. Tidak ada istilah hukum yang wajib untuk umat tetapi tidak wajib untuk Rasulullah s.a.w. Hukum Allah s.w.t berjalan sama rata sama rasa, kepada Rasulullah s.a.w dan juga kepada umat baginda s.a.w. Jika umat baginda s.a.w wajib mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam baginda s.a.w juga wajib berbuat demikian, malah baginda s.a.w lakukan melebihi dari apa yang dikerjakan oleh orang lain. Baginda s.a.w memperbanyak shalat malam hingga bengkak tumit baginda s.a.w, tetapi umat baginda s.a.w tidak diwajibkan berbuat demikian, walaupun dianjurkan.
Nabi Muhammad s.a.w sangat mengasihi umat manusia. Baginda s.a.w pernah disakiti oleh kaum baginda s.a.w tetapi baginda s.a.w menolak mendoakan keburukan untuk mereka. Baginda s.a.w lebih suka mendoakan: “Wahai Tuhanku! Tunjukilah kaumku karena mereka tidak mengerti.” Kadang-kadang baginda s.a.w mendoakan: “Wahai Tuhanku! Ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu”. Begitulah halusnya nilai budi dan akhlak Rasulullah s.a.w yang diasuh oleh wahyu.
Rasulullah s.a.w menerima wahyu sebagai kebenaran yang Mutlak. Apa saja kemampuan yang ada dengan baginda s.a.w seperti fikiran, ilham dan kasyaf, baginda s.a.w gunakan sebaik mungkin untuk menterjemahkan wahyu dan menyatakan kebenaran wahyu itu. Tidak pernah terjadi baginda s.a.w mengeluarkan buah fikiran, ilham atau kasyaf yang berbeda dengan wahyu. Baginda s.a.w menggunakan segala kemampuan baginda s.a.w untuk menyokong wahyu. Cara yang baginda amalkan menyebabkan Hadis menjadi sumber hukum setelah al-Quran. Hadis yang benar dari Rasulullah s.a.w tidak sedikitpun berbeda dengan al-Quran.
Rasulullah s.a.w dengan perintah, petunjuk dan bimbingan wahyu menjalani kehidupan di dalam dunia ini sebagai manusia biasa bukan sebagai malaikat atau manusia luar biasa. Baginda s.a.w menjalani kehidupan yang ada urusan beristeri dan berkeluarga, bermasyarakat, merasakan kenyang dan lapar, sehat dan sakit dan segala aspek kehidupan manusia biasa, sampai baginda s.a.w menjalani juga proses kematian walaupun ada Nabi yang tidak menjalani proses tersebut. Kehidupan yang baginda s.a.w jalani itu berdasarkan bimbingan wahyu yang maha benar. Baginda s.a.w adalah orang yang paling arif mengenai maksud wahyu. Terjemahan wahyu yang baginda s.a.w tunjukkan dengan prinsip dan amalan kehidupan baginda s.a.w sendiri merupakan suasana kehidupan yang paling utama, paling baik, paling mulia dan paling tinggi. Suasana demikian juga yang dijalani oleh para sahabat baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang bergerak di atas muka bumi, menyebarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah mengenai enam perkara yang menjadi dasar pembentukan umat yang ingin kembali kepada kemurnian fitrah mereka dan melaksanakan kewajiban kehambaan kepada Allah s.w.t. Enam dasar yang konkrit itu adalah:
1.     menyampaikan, mengajak serta membimbing umat   manusia  supaya mematuhi semua perintah Allah s.w.t dan menjauhi semua larangan-Nya dengan sepenuh kekuatan dan kebijaksanaan.
2.     bersyukur kepada Allah s.w.t yang menciptakan dan mengurniakan nikmat kesinambungan hidup sehingga umat manusia tidak menemui kesukaran di dalam menjalani kehidupan dan mendapatkan keperluan mereka.
3.     membersihkan pakaian dan perbuatan zahir serta amalan hati bagi mencapai kesempurnaan takwa.
4.     meninggalkan segala yang keji dan munkar seperti syirik, berhala, arak, judi, zina, riba dan lain-lain yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t.
5.     mengikhlaskan niat dan amalan supaya kepentingan diri tidak merobohkan benteng keadilan dan supaya fitnah kebendaan tidak memalingkan tujuan ubudiah (kehambaan) terhadap Allah s.w.t.
6.     semua perkara yang dinyatakan di atas hendaklah dilengkapi dengan sabar karena dugaan di dalam melakukan kebaikan jauh lebih kuat dari dugaan meninggalkan kejahatan. Sabar menjadi prinsip yang kukuh mempertahankan diri dalam menghadapi halangan dan rintangan di sepanjang jalan menyebarkan dan melakukan kebaikan.
Wahyu telah memberi jawaban yang konkrit terhadap permasalahan yang tidak mampu diurai oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Apabila wahyu datang selesailah perjuangan batin Nabi Muhammad s.a.w di dalam mencari hakikat yang sebenarnya. Kebenaran Hakiki yang baginda s.a.w terima melalui wahyu itu dipertanggungjawabkan kepada baginda s.a.w untuk disampaikan pula kepada sekalian manusia. Baginda s.a.w tidak bisa lagi memencilkan diri di dalam Gua Hiraa. Apabila cahaya kebenaran memancar di dalam lubuk hati dan bidang tugas dibukakan, baginda s.a.w mesti keluar kepada orang banyak, kepada dunia, bagi menyampaikan amanah yang baginda s.a.w tanggung dengan bersuluhkan cahaya kebenaran.
Wahyu menceritakan tentang Allah s.w.t, Tuhan yang bersifat dengan sifat-sifat Kesempurnaan, Yang Maha Mulia dan memiliki nama-nama yang baik-baik. Diterangkan juga tentang kejadian manusia. Wahyu mengajar manusia beribadah kepada Allah s.w.t. Diajarkan cara berhubungan dengan sesama manusia. Wahyu sangat menekankan soal takwa yaitu mematuhi perintah Allah s.w.t, tidak keluar dari batas jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Allah s.w.t sendiri. Wahyu mendidik manusia supaya hidup sebagai hamba Tuhan dengan sebenar-benar kehambaan. Wahyu telah dengan tegas dan jelas meletakkan manusia pada taraf hamba Tuhan, bukan taraf yang lain dari itu.
Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran kepada kaum Muslimin. Pendidikan al-Quran berkembang dengan sangat pesat setelah baginda s.a.w dan kaum Muslimin berhijrah ke Madinah. Jika Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran, kaum Muslimin juga sangat bersungguh-sungguh mempelajarinya. Sebagian dari kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah terpaksa tinggal di luar kota Madinah, di satu kawasan yang bernama Sunuh, kira-kira 20 km dari masjid Rasulullah s.a.w. Di sana mereka mendirikan rumah-rumah dan menguruskan kebun-kebun. Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar adalah di antara mereka yang tinggal di Sunuh. Jarak 20 km itu tidak menghalangi mereka mempelajari al-Quran dari Rasulullah s.a.w. Mereka telah menyusun jadual pembelajaran al-Quran dengan rapi. Tiap-tiap hari mereka menghantarkan dua atau tiga orang wakil dari Sunuh pergi ke Madinah. Sepanjang hari wakil dari Sunuh akan mendapatkan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, terutamanya ayat-ayat al-Quran yang baru turun. Mereka mempelajari al-Quran secara menghafal dan memahami dengan lengkap. Jika ada larangan atau perintah atau amalan yang disampaikan oleh al-Quran mereka akan mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya dari Rasulullah s.a.w. Apa saja ayat yang turun pada hari itu mesti dihafalkan pada hari itu juga karena pada hari esoknya mungkin ada pula ayat-ayat yang baru turun. Setelah hari petang mereka kembali ke Sunuh dan pada malam itu juga atau paling lambat keesokan harinya semua pelajaran yang diterima dari Rasulullah s.a.w sudah disampaikan kepada semua kaum Muslimin di Sunuh. Mereka mempelajari al-Quran tanpa tanggung-tanggung. Al-Quran dipelajari secara menyeluruh yaitu membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan. Program pembelajaran al-Quran yang diatur oleh Saidina Abu Bakar dan sahabat-sahabat beliau di Sunuh sungguh berkesan sehingga mereka bisa menjalankan kegiatan harian untuk menampung perbelanjaan mereka dan pada masa yang sama mereka bisa mempelajari al-Quran dengan sempurna. Kegiatan pertanian, perniagaan, penternakan, pertukangan dan lain-lain bisa berjalan dengan lancar jika pembelajaran al-Quran dilakukan dengan bersistematik. Kesungguhan mempelajari al-Quran tidak melalaikan urusan kehidupan harian.
Rasulullah s.a.w sangat teliti di dalam menyampaikan ayat-ayat suci al-Quran kepada kaum Muslimin. Setiap kali turun ayat baginda s.a.w akan mengumpulkan sahabat-sahabat baginda s.a.w dan ayat yang baru turun itu disampaikan dengan pembacaan yang  betul, sebutan setiap huruf mengikuti kadar panjang dan pendek yang harus dibunyikan. Bacaan yang tepat sebutannya dihafal berulang-ulang sehingga ayat-ayat tersebut benar-benar melekat di dalam ingatan dan hati mereka. Mereka tidak bergeser dari majlis Rasulullah s.a.w sebelum mereka dapat menyebut ayat-ayat al-Quran dengan betul dan menghafalnya dengan baik. Bukan sekedar membaca dan menghafal, malah mereka juga dilengkapkan dengan pengetahuan dan pengertian yang jelas tentang maksud ayat, kedudukan susunannya di dalam al-Quran dan hubung-kaitnya dengan ayat-ayat yang lain. Jika ayat tersebut melibatkan peraturan dan amalan maka kaedah peraturan dan amalan itu difahami benar-benar. Semua itu mereka pelajari secara langsung dari Rasulullah s.a.w. Kemudian apa yang sudah mereka pelajari itu mereka sampaikan pula kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menghadiri majlis Rasulullah s.a.w.
Selain dihafal, ayat-ayat al-Quran juga ditulis di atas kulit binatang, tulang-tulang yang lebar, pelepah-pelepah kurma yang sudah dikeringkan dan batu-batu yang lebar. Jadi, ayat al-Quran bukan saja dipelihara di dalam dada kaum Muslimin malah ia juga dipelihara secara tertulis. Lembaran tulisan al-Quran itu disimpan di rumah Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w telah mewariskan al-Quran kepada umat baginda s.a.w dengan cara yang paling berkesan dan selamat. Atas kebijaksanaan baginda s.a.w umat Islam yang datang kemudian dapat menerima al-Quran dalam keasliannya. Selain dari jurutulis wahyu yang khusus terdapat kira-kira 40 orang yang mengambil bagian di dalam bidang penulisan wahyu. Cara yang demikian lebih memudahkan kaum Muslimin menyebarkan al-Quran.
Rasulullah s.a.w sangat menekankan soal menghafal al-Quran. Baginda s.a.w memberi petunjuk mengenai penghafalan ayat-ayat al-Quran dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Perumpamaan orang yang menghafal al-Quran adalah seperti orang yang memiliki unta yang diikat. Jika unta itu dijaga ia terpelihara. Jika dilepaskan ia akan hilang”. Baginda s.a.w mengajarkan supaya mengikat hafalan al-Quran dengan cara terus mengulangi bacaannya sesering mungkin sesuai kemampuan. Selain dari menghafal, pemahaman dan amalan juga dititik-beratkan. Ibnu Mas’ud menceritakan: “Apabila seseorang dari kami mempelajari sepuluh ayat  al-Quran kami tidak akan berpindah kepada ayat lain sebelum kami mengetahui benar-benar maksudnya dan tahu cara mengamalkannya”. Banyak para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada mereka secara sepuluh ayat sekali belajar, tetapi lengkap dengan menghafal, memahami maksud, tahu mengamalkannya dan tahu kedudukannya berhubungan dengan ayat-ayat lain yang turun terdahulu. Mereka mempelajari al-Quran, menyimpan serta mengamalkannya.
Rasulullah s.a.w senantiasa membaca al-Quran secara tartil, membaca dengan terang dan perlahan-lahan, mengeluarkan bunyi setiap huruf dengan jelas. Cara bacaan yang demikian baginda s.a.w sebarkan kepada para sahabat. Cara tersebut selain memberi faedah kepada para pembaca juga memudahkan pendengar mengikuti serta menghafalnya.
 Rasulullah s.a.w mampu membentuk satu umat yang tidak pernah ada di atas muka bumi seperti mereka sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang menyamai mereka sesudahnya. Itulah umat yang semua ahlinya terdiri dari orang yang arif tentang al-Quran. Jika dilihat al-Quran dari sudut kelembagaan negara maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli politik yang arif tentang peraturan negara. Jika dilihat al-Quran sebagai kode etika sosial maka setiap ahli masyarakatnya adalah pemimpin yang bertanggung-jawab kepada apa yang dipimpin, baik keluarga, perniagaan, pertanian, penternakan dan sebagainya. Jika dilihat al-Quran sebagai kitab ilmu perang maka setiap ahli masyarakatnya adalah perajurit yang senantiasa bersedia menyahut panggilan jihad. Jika al-Quran dilihat sebagai peraturan kehidupan maka setiap ahlinya adalah ahli syariat yang taat. Jika dilihat al-Quran sebagai penyampai khabar tentang Allah s.w.t maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli makrifat yang benar-benar mengenal Allah s.w.t. Jika dilihat al-Quran sebagai ajaran penyucian hati maka setiap ahli masyarakatnya adalah yang sangat mendalam pengertian mereka mengenai hati. Mereka beragama secara menyeluruh. Darah, daging, tulang, sumsun dan urat saraf adalah Muslim. Pendengaran, penglihatan, penciuman, pergerakan dan akal fikiran mereka adalah Muslim. Hati mereka adalah Muslim. Roh mereka adalah Muslim. Mereka memakai satu makam saja yaitu makam HAMBA ALLAH! Mereka tidak tahu perbedaan istilah-istilah syariat, tarekat, hakikat, makrifat, ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tasauf dan yang seumpamanya. Mereka adalah ahli al-Quran dan ilmu mereka adalah ilmu al-Quran.
Rasulullah s.a.w menyiramkan roh dan jiwa raga sahabat baginda s.a.w dengan air al-Quran. Lahirlah individu yang tangkas dan giat (gesit) dalam segala bidang. Mereka yang menjadi petani bekerja bersungguh-sungguh dengan segala kemahiran yang mereka miliki bagi menghasilkan makanan dan keperluan kaum Muslimin. Peniaga juga mengumpulkan harta sebanyak mungkin secara halal untuk disumbangkan kepada pembangunan umat dan jihad fi-sabilillah. Apa saja nikmat yang diperolehi diakui sebagai karuniaan Allah s.w.t yang dipertaruhkan sebagai amanah, bukan sebagai milik individu sepenuhnya. Individu yang menerima karuniaan tersebut mengurusnya dengan cara yang diredai oleh Allah s.w.t. Apabila pemilikan harta longgar pada hati mudahlah melepaskannya demi kepentingan agama Allah s.w.t karena Allah s.w.t adalah Pemilik sebenarnya. Saidina Abu Bakar as-Siddik melepaskan kesemua hartanya demi jihad fi-sabilillah. Para sahabat yang lain menyumbangkan menurut kadar masing-masing. Tidak ada yang menuntut harta sebagai pemilikan mereka sepenuhnya. Kaum Ansar telah membuktikannya dengan kesanggupan mereka melepaskan harta dan tanah pemilikan mereka demi membantu saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Apa yang dilepaskan itu diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah s.a.w. Terpulang kepada baginda s.a.w bagaimana mau membagikan harta Ansar tersebut.
Al-Quran telah membimbing Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin agar bergerak tangkas dan gesit dalam segala bidang untuk membentuk kehidupan yang sehat sejahtera sesuai dengan kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Kehidupan dunia yang demikian menjadi asas kepada kehidupan akhirat. Kesungguhan Rasulullah s.a.w dan para sahabat membina kesejahteraan di bumi dapat dilihat melalui program dan strategi pertahanan dan ketenteraan yang rapi disusun oleh baginda s.a.w bersama-sama para sahabat baginda s.a.w. Ketika berlaku Perang Badar dalam tahun ke dua hijrah tentera Islam terdiri dari 313 orang dengan alat kelengkapan perang yang sangat sederhana. Ketika berlaku Perang Uhud dalam tahun ke tiga hijrah tentera Islam berjumlah 700 orang dengan kelengkapan perang yang lebih baik dari ketika Perang Badar dahulu. Dalam tahun ke lima hijrah berlaku pula Perang Khandak. Dalam peperangan tersebut tentera Islam sudah berjumlah 3,000 orang dengan kelengkapan perang yang mencukupi. Dalam tahun ke enam hijrah Rasulullah s.a.w memimpin 1.700 orang kaum Muslimin menuju Makkah dengan bilangan kuda sebanyak 200 ekor. Dalam tahun ke sepuluh hijrah baginda s.a.w memimpin 10.000 orang tentera Muslimin menaklukan kota Makkah. Bilangan kuda pada masa itu sudah berjumlah 1.000 ekor. Pada tahun ke sembilan hijrah baginda s.a.w memimpin hampir 40.000 orang tentera Muslimin ke Tabbuk dalam daerah Syam. Mereka menggunakan 10.000 ekor kuda dan 20.000 ekor unta. Mereka mampu menempuh jarak 2.000 batu yang sebagian besarnya adalah padang pasir. Bukan pekerjaan yang mudah membentuk 40.000 orang tentera yang tinggal di merata tempat dalam Semenanjung Arab. Mereka terdiri dari bermacam-macam suku dan kaum. Kerja penyelarasan pasukan tentera yang begitu besar bukanlah mudah. 40.000 orang tentera, 10.000 ekor kuda dan 20.000 ekor unta berkumpul di Madinah pada satu masa sebelum berangkat ke Tabbuk. Tempat tinggal, makan dan minum mereka semua diperlukan.
Pekerjaan yang berat itu dapat diselenggarakan oleh kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. Apa yang tidak dapat dibuat oleh umat lain mampu dilakukan oleh umat Nabi Muhammad s.a.w karena mereka mendapat pimpinan yang langsung dari Allah s.w.t melalui wahyu-Nya, melalui Rasul-Nya. Al-Quran telah mampu membentuk umat yang menjadi penolong dan pembela agama Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w mengatakan di Arafah bahwa orang yang bisa menolong agama Islam adalah mereka yang memberikan sepenuh hatinya kepada Islam dan bekerja dalam segala bidang untuk Islam. Hanya mereka yang menyerahkan seluruh dirinya, tenaganya, hartanya dan masanya untuk Islam yang benar-benar mampu meninggikan Islam. Orang yang menolong Islam dalam satu bidang saja, misalnya dalam bidang ibadat saja atau dalam bidang ekonomi saja atau politik saja, tidak banyak membantu kepada pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Hanya  golongan Ansar (orang yang menolong dan membela Islam dalam segala bidang) dapat menyokong perkembangan Islam. Orang Ansar mencukupkan segala kepentingan diri demi agama Allah s.w.t, karena Allah s.w.t!
Rasulullah s.a.w juga memberikan perhatian kepada bidang ekonomi. Di dalam rencana pembangunan Madinah baginda s.a.w tidak lupa menyediakan kawasan untuk dijadikan pusat perniagaan kaum Muslimin. Sebelumnya kaum Muslimin Madinah berkumpul di pasar Yahudi Banu Kainuka. Sistem pasar tersebut berjalan menurut peraturan Yahudi. Rasulullah s.a.w sangat tidak menyukai apa saja yang berbeda dengan peraturan Allah s.w.t. Baginda s.a.w mau kaum Muslimin berniaga menurut prinsip perekonomian Islam. Oleh itu baginda s.a.w membuka pusat perniagaan yang baru. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Inilah lapak/tenda tempat perniagaan kamu, semoga ia tidak sempit dan tidak dipungut hasil padanya”.  Muncullah sebuah pasar kecil yang berperanan sebagai pasar bebas cukai milik kaum Muslimin Madinah. Pusat perniagaan yang dibuka oleh Rasulullah s.a.w itu diberkati Allah s.w.t. Pengunjungnya senantiasa bertambah dan pada masa yang sama pasar Yahudi menjadi semakin lengang.
Tugas Rasulullah s.a.w dalam bidang ekonomi bukan sekedar menyediakan kawasan perniagaan saja. Baginda s.a.w juga melindunginya agar keadilan dalam perniagaan ditegakkan di sana. Satu ketika baginda s.a.w melihat ada didirikan kemah di kawasan perniagaan tersebut. Baginda s.a.w memerintahkan agar kemah itu dibakar. Sebelum terjadi perlombaan mengawal kepentingan diri sendiri dengan mencabut hak orang lain, pertama-tama Rasulullah s.a.w mencabut pokok yang berbisa itu, sebelum ia sempat tumbuh segar dan merusakkan sistem perekonomian kaum Muslimin. Baginda s.a.w tidak mau ruang perniagaan menjadi sempit lantaran didirikan bangunan di atasnya. Tidak ada pemilikan dan penguasaan individu di dalam kawasan perniagaan yang di bangun oleh Rasulullah s.a.w.
Pada masa yang lain pula Rasulullah s.a.w melihat ada peniaga yang menumpuk gandum. Baginda s.a.w memasukkan tangan baginda s.a.w ke dalam tumpukan gandum itu dan mendapati bagian bawahnya basah. Baginda s.a.w memerintahkan agar bagian yang basah diletakkan di atas supaya pembeli tidak tartipu. Baginda s.a.w juga menegur sikap peniaga yang sengaja menaikkan harga barang. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Orang yang membawa barang ke pasar ini seperti orang yang berjihad fi-sabilillah. Orang yang menaikkan harga barang seperti orang yang kufur dengan Allah s.w.t”.
Di dalam rencana pembangunan Madinah masjid menjadi pusat atau jantung yang segala aktiviti bergerak mengelilinginya. ‘Roh’ kepada jantung itu adalah Nabi Muhammad s.a.w. Dari masjid baginda s.a.w memancarkan kehidupan yang baik yang berbentuk kerohanian dan juga kebendaan. Jika masjid diibaratkan jantung, maka darah yang dihantarkan oleh jantung kepada semua bagian adalah al-Quran. Darah al-Quran memberikan kekuatan kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin bekerja di atas dasar mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Pembangunan kebendaan berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Wahyu meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada Rasulullah s.a.w dan pengikut baginda s.a.w. Setiap kali wahyu turun terjadilah perubahan pada diri mereka dan suasana di sekeliling mereka. Wahyu yang dibacakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w mempunyai kekuatan untuk mendatangkan perubahan. Apabila Rasulullah s.a.w membaca wahyu yang menegur sesuatu perkara yang ada pada mereka, maka dengan segera mereka mengambil tindakan menyesuaikan diri dengan teguran tersebut. Amalan, kepercayaan, tradisi dan apa saja, mereka bisa lepaskan dengan mudah apabila datang perintah wahyu. Pekerjaan berat dan belum pernah mereka lakukan akan menjadi ringan jika wahyu memerintahkan mereka melakukan pekerjaan tersebut. Apabila datang wahyu mengharamkan arak, orang yang sedang memegang botol arak terus mencampakkannya, sekalipun mereka merupakan orang yang ketagihkan arak. Begitulah kekuatan wahyu yang dibacakan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Kaum Muslimin senantiasa mengharapkan kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran kepada mereka. Kedatangan wahyu adalah umpama kedatangan kekasih yang mereka rindui. Mereka fana di dalam wahyu hingga tidak ada perkataan yang menguasai mereka melebihi perkataan Allah s.w.t. Mereka baqa di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan kepada Allah s.w.t hingga tidak ada yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah s.w.t. Itulah umat Nabi Muhammad s.a.w yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).