TANWIRUL QULUB
Selamat Datang.............
Rabu, Juli 22, 2015
Kamis, Juni 21, 2012
Jidat Hitam Benarkah Sunnah?
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”
(QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira
bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang
dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas
bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik.
Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang
dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang
hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir
Mukhtashar Shahih hal 546).
عَنْ سَالِمٍ أَبِى
النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ
فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا
حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ
عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah
orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah
anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada
bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata
kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama
bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada
bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ
رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ
إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas
sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang
itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no
3699).
عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ :
رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا
أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ
يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya
terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas
berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no
3700).
عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ
سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا
هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى
مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى
شَيْئًا.
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada
di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin
Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh
dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud.
Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu
lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no
3701).
عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ
قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ
الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ
كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ
الْخُشُوعُ.
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah,
‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang
dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang
yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada
pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah
kekhusyu’an” (Riwayat
Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat
adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda
hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli
bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa
bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits
tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang
berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya,
“Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang
Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang
didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah
uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang
yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya.
Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah
sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau
tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak
membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda,
“Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang
lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda,
يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ
الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ
هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ
تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ
سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ
“Akan
keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia
adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah
melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah
melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan
kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan
selalu muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh
Syu’aib al Arnauth).
Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu
berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah
yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.
http://nurisfm.blogspot.com/2012/05/jidat-hitam-benarkah-sunnah.html
Senin, Juni 04, 2012
6. JALAN KENABIAN
Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kelompok kaum
Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah
mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung dari baginda s.a.w.
Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia karuniakan
kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus menerus, tanpa
dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka peroleh dari Nur Nabi
Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi
Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima
pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun
melindunginya. Umat setelah priode sahabat adalah umpama orang yang menerima
pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan
mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung dari Rasulullah s.a.w tetap
di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah
s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar
identitas mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan
bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan
bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena
baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila
jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada
Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan
penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di
atas landasan kehambaan. Tidak ada percobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi
Tuhan. Tidak ada pengalaman rohani yang memabukkan. Banyak dari pengalaman yang
ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami
oleh para sahabat Rasulullah s.a.w.
Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung dari
Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian
terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak
terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat
akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak
ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan
oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat
tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan
bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari
yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang,
tanpa rupa, tanpa warna dan tanpa bayangan.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat.
Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita disiksa oleh orang Banu Makhzum,
menjadi tenang ketika menerima jaminan syurga dari Rasulullah s.a.w. Syurga
yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir.
Kecintaan mereka kepada akhirat lahir dari kecintaan mereka kepada Allah s.w.t
yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak
meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah
s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat
dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin
menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah
s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah
s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip
menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan
kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan
syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenarnya hamba
dengan Tuhan. Allah s.w.t mengajurkan hamba-Nya menyintai akhirat dan
syurga di samping benar-benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang
berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang dari dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada
Tuhan dengan cara menjadi khalifah di dunia ini. Manusia sebagai khalifah atau
wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan dunia ini, melaksanakan peraturan
dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia
adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat manusia bekerja
sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada
manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang
manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat
penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan
semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, sungguh digembeling ke
arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa
raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang ada
pada mereka. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif yang
datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam masa satu tahun
dari saat mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan dari
melakukan shalat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa berkompromi dengan
berhala. Mengenai shalat baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada
Islam tanpa shalat.” Tentera Islam menempuh padang pasir, memikul senjata,
berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan
syariat, termasuk shalat lima waktu. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Khalifah
Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat.
Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga setelah baginda
s.a.w. wafat. Kaum Muslimin wajib berpegang kepada syariat sampai akhir hayat
mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas dari tuntutan syariat.
Rasulullah s.a.w sendiri terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan
baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin
kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin.
Pada jalan tersebut adalah sesuatu yang terang dan jelas, tiada kesamaran.
Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang
berat, berbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan
berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan
tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak
mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri. Cara yang diajarkan
oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam
zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang
menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak peduli tentang
tajalli Tuhan, Rahasia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang
seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang
yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia
berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperoleh yang
demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelezatan
di dalam shalat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak
mengurus kehidupan harian sebagaimana layaknya manusia biasa tanpa perlu
bersandar kepada kekeramatan. Mereka tetap dalam kesadaran, tidak dibawa ke
alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki
suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa
dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat
dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah
s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dinamakan ilmu rahasia, ilmu isi atau yang
seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak dipaksa berperang dengan
jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan
diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas.
Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekedar kejahatan yang dilakukan orang,
jangan melampaui dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik.
Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bershalat tahajjud adalah lebih baik.
Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang
demikian lebih memudahkan orang-orang mengikutinya. Orang khusus juga bisa
mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t
berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian
berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik maksyuk
sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Cinta yang rasional melahirkan
rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam
menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani
pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada
Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Pada jalan kenabian
kecintaan kepada Allah s.w.t berkaitan dengan kecintaan kepada peraturan Allah
s.w.t dan makhluk-Nya. Tujuannya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t (syariat)
sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana,
bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul
wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan
kenabian Allah s.w.t karuniakan yang lebih baik dan lebih benar dari semua itu.
Dikaruniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya
yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan
mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran
agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t karuniakan
kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar
dan bersih dari bida’ah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian
dikaruniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat
mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya dari gangguan
musuh-musuh agama. Merekalah yang benar-benar dipilih dan dilantik sebagai
khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan stempel-Nya (atas
nama-NYA) di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan
membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan
syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat
Islam dari penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam
nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t.
Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka
tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran.
Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang rumit-rumit. Tidak ada
tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah
dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa
berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar cinta
Allah s.w.t dan hampir dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di
dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan
mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara
khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah
takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan,
kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk dengan menjaga diri agar tidak
melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang
Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah
dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia.
Baginda s.a.w bekerja keras untuk mengobati penyakit-penyakit yang dihadapi
oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem
perekonomian, sistem urusan masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh
Rasulullah s.a.w mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, sesuai dengan
akal budi manusia, mengimbangkan soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w membetulkan aspek lahiriah yang telah
diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan
oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu
ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas
yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung
jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat
adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan
yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu
karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh dari
zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan
pengajaran secara langsung dari baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan dari
cara berkhalwat sendirian jauh dari Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih
lebih dituntut dari mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia dari
neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan
tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan
faktor-faktor yang membentengi umat manusia dari sampai kepada kebenaran.
Banyak golongan yang pada mulanya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam,
telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman
Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia dari api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan
perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah
dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah
berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina,
membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku
kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan
bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam
menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu
mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia
kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah
di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada
aspek akhlak (nilai murni kemanusiaan) semata-mata tanpa tauhid, tidak akan
memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi
akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia
yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan
dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada
perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia
akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti
kefanatikan kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian jiwa dengan
anasir keduniaan akan menarik manusia kembali kepada kerusakan akhlak. Banyak
manusia yang memulai perjalanan mereka dengan baik sehingga memperoleh akhlak
yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan
lahiriah jiwanya yang kosong diisi oleh bermacam-macam anasir keduniaan dan
kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai
murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas untuk
membebaskan negara mereka dari penjajahan. Setelah mencapai kemerdekaan dan
menjadi pemimpin, mereka yang tidak diisi akidah itu bertukar menjadi tamak kekuasaan
dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulai perniagaan
mereka secara jujur sehingga orang banyak memberi sokongan kepada mereka.
Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa
mereka yang kosong diisi dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menimbun
harta tanpa batasan sehingga harta orang-orang yang diamanahkan kepada mereka
juga diselewengkan.
Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak diiringi dengan revolusi
akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan
akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak
mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya tarik kepada kaum lain.
Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum
Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak
langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di
dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan
mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang berminat di bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya
tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan tasauf.
Apabila bercerita tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki
jalan tasauf sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani,
Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang
sufi biasanya digolongkan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara
khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan
merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai
wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan tasauf
seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak
ditonjolkan.
Pemahaman tentang kewalian seperti ini harus dibetulkan. Harus diketahui
bahwa orang yang menerima Islam secara langsung dari Rasulullah s.a.w adalah
wali Allah. Wali-wali Allah yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar
pengajaran dari baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar
tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di
samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak
ada kewalian yang lebih tinggi dari kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w.
Kewalian yang muncul setelah sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak
melebihi kewalian para sahabat. Di dalam golongan nama-nama wali Allah
peringkat tertinggi yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, yang mendahuluinya
adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin
Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin
Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan
anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar
bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin
Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada
dan banyak lagi yang tergolong di dalam golongan wali-wali Allah peringkat tertinggi
yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai
golongan nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang
kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam golongan wali-wali yang datang
kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil
kepada kewalian itu sendiri. Kebanyakan orang hendaknya jangan lupa untuk
melihat kewalian orang-orang yang berada pada jalan kenabian seperti Imam Syafi’e,
Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan
lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang
kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan
lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin
al-Afghani dinamakan wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w,
termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengakuan dan sanjungan
dari al-Quran dan didukung oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran
dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan
mereka hanya dibesarkan oleh manusia sendiri, bukan pengakuan secara langsung
oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama dari wali
yang datang kemudian baik dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian.
Kenyataan ini mesti terhunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan
kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali
peringkat tertinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau
orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w
tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian dari mereka telah
disebut namanya oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga
memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti para sahabat baginda s.a.w
sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi’e
dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para
sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari
perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar
kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan
perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang dimasa oleh Abu Mukur yang ada
zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.
Rabu, Mei 30, 2012
JALAN PARA SAHABAT R.A
Kaum Muslimin yang dibimbing secara langsung oleh
Rasulullah s.a.w telah menunjukkan kecemerlangan dalam bidang apa saja yang
mereka geluti dan suasana apa saja yang mereka berada di dalamnya. Mereka mampu
bertahan ketika menghadapi ujian bala bencana, menanggung penghinaan, ejekan,
penentangan dan penyiksaan sehingga mereka terpaksa mengarungi lautan ke
Habsyah dan menempuh padang pasir ke Yasrib demi menyelamatkan agama mereka. Di
hadapan Raja Habsyah, Ja’afar bin Abu Talib selaku ketua Muhajirin di Habsyah,
telah memberi penerangan lengkap dan jelas mengenai Nabi Muhammad s.a.w dan
agama Islam, mematahkan hujah wakil pihak Quraisy yang menuntut agar kaum
Muslimin dihantar pulang ke Makkah. Jelas sekali para sahabat Rasulullah s.a.w
bukan saja memiliki ketahanan jiwa menanggung kesusahan malah mereka juga
memiliki kecerdasan akal fikiran. Mereka adalah duta-duta Rasulullah s.a.w,
menterjemahkan sifat-sifat baginda s.a.w yaitu benar, amanah, menyampaikan dan
bijaksana. Mereka bisa berdiri di hadapan siapapun untuk menyampaikan kebenaran
secara bijaksana. Apa yang terbit dari mereka adalah bakat dan sifat-sifat Roh
Islam yang murni yang memenuhi seluruh rongga tubuh dan ruang hati mereka. Kemurnian
Roh Islam yang mengendalikan kehidupan mereka menyebabkan mereka Islam pada
perkataan, Islam pada perbuatan dan Islam pada amalan hati.
Kemurnian Roh Islam lahir apabila ia digilap dengan cara mengesakan Allah
s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya dengan beramal salih dan bertakwa serta
mengasihi saudara Muslim lainnya sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Apabila
jalan atau tarekat tersebut diikuti akan muncullah Roh Islam yang sejati dan murni.
Kemurnian itu diuji pula dengan dihadapkan kepada ujian bala bencana, penekanan
pada zahir dan batin. Jika ujian bala tidak mencedrakan iman maka sahlah kemurnian
Roh Islam seseorang Muslim itu. Begitulah tarekat yang didukung oleh kaum
Muslimin yang diasuh secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Mereka tundukkan
jasad kepada pemerintahan roh dan roh ditundukkan kepada perintah Allah s.w.t
yang disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Roh Islam tidak dikuasai oleh
sesuatu melainkan kekuasaan Allah s.w.t. Roh Islam merdeka dari segala sesuatu kecuali
Allah s.w.t, Rasul-Nya dan agama-Nya. Apa saja kekacauan yang melanda dunia
tidak akan sampai kepada Roh Islam selagi orang Islam tidak menjual akhiratnya
untuk kebendaan dan duniawi.
Kaum Muslimin dibimbing oleh Nabi Muhammad s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w
dibimbing oleh Jibrail a.s. Jibrail a.s dibimbing oleh Allah s.w.t. Nabi
Muhammad s.a.w telah memasuki satu jalan khusus untuk baginda s.a.w sendiri.
Baginda s.a.w memasuki alam khalwat sewaktu berusia 36 tahun. Baginda s.a.w
pergi ke Gua Hiraa melalui bimbingan Allah s.w.t, sebagaimana firman-Nya: Dan
didapati-Nya engkau mencari-cari (jalan yang benar), lalu Ia memberikan hidayah
petunjuk (dengan wahyu – al-Quran)? ( Ayat 7 : Surah adh-Dhuha )
Tuhan yang memimpin Nabi Muhammad s.a.w ke Gua Hiraa. Pimpinan yang
demikian dinamakan Tarikan Rahmani atau tarikan yang langsung dari Allah s.w.t.
Ketika mencari kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada pendeta Yahudi
dan Nasrani yang terkenal alim mengenai kitab-kitab dari langit dan juga ilmu
falsafah. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa yang gelap gulita, meletakkan
sepenuh harapan dan bergantung kepada Allah s.w.t. Apa yang dicari oleh Nabi
Muhammad s.a.w tidak dapat diurai dan dibuka oleh siapapun kecuali Allah s.w.t.
Apa yang Allah s.w.t karuniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w melebihi apa yang
mampu diberikan oleh manusia.
Setelah fitrah suci baginda s.a.w menerima pembukaan dengan kedatangan
wahyu yang pertama, selesailah urusan berkhalwat. Khalwat di Gua Hiraa telah
memberikan makna yang besar kepada kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. Latihan
tersebut menjadi asas yang kukuh di dalam pembentukan keperibadian dan kekuatan
jiwa Nabi Muhammad s.a.w. Hasilnya rohani dan jasmani baginda s.a.w mampu
bertahan menerima kunjungan wahyu yang maha berat dan ia juga membuat baginda
s.a.w mampu melakukan Israk dan Mikraj di kemudian hari nanti. Tanpa kekuatan
yang diperoleh di Gua Hiraa mungkin jasad dan roh baginda s.a.w akan hancur
bila ‘dihempap’ oleh wahyu dan bila baginda s.a.w memasuki alam tinggi ketika
Mikraj. Hanya golongan nabi-nabi yang dipersiapkan untuk menjadi cukup kuat
bagi menerima kedatangan wahyu dan juga memasuki alam tinggi. Golongan yang
selain nabi-nabi, walaupun siddiqin dan salihin, mereka hanya menerima percikan
wahyu dan memasuki alam tinggi secara pengalaman kerohanian seperti zauk dan
kasyaf, tidak secara langsung seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Oleh yang demikian siddiqin dan salihin juga wajib merujuk kepada wahyu di
dalam menentukan kebenaran sesuatu perkara. Siddiqin yang paling utama, Abu
Bakar as-Siddik, juga takluk kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
s.a.w. Tidak ada fikiran, ilham dan kasyaf orang siddik dan salih yang bebas dari
wahyu. Kenyataan ini dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat
baginda s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w tidak meninggalkan khalwat sebelum wahyu
datang. Para sahabat tidak meninggalkan Rasulullah s.a.w, senantiasa mentaati
baginda s.a.w dalam perkara apa pun.
Setelah wahyu datang tamatlah peringkat khalwat yang dilalui oleh Nabi
Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w sebagai penterjemah wahyu yang paling arif
menyampaikan ajaran wahyu kepada pengikut-pengikut baginda s.a.w tanpa membawa
mereka memasuki proses khalwat baik di Gua Hiraa atau di gua yang lainnya.
Tarekat sebelum kedatangan wahyu dengan sesudah kedatangan wahyu adalah
berbeda. Wahyu membawa Nabi Muhammad s.a.w dan pengikut baginda s.a.w memasuki
tarekat kehidupan harian di atas muka bumi ini, dengan bertauhid dan beramal
salih serta bertakwa. Semua itu dilakukan dengan mengakui dan memelihara keberadaan
kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
Golongan hamba sahaya yang telah memeluk agama Islam mengakui kedudukan
mereka sebagai hamba sahaya. Tidak ada hamba sahaya yang memeluk Islam lari
dari tuan mereka. Mereka tetap menghormati institusi/lembaga kemasyarakatan
sekalipun telah memilih Islam yang mempunyai institusinya sendiri. Golongan
pedagang terus juga berdagang. Golongan pertukangan dan pertanian terus juga
bertukang dan bertani. Tidak ada di antara mereka yang meninggalkan urusan
kehidupan harian lantaran mau berkhalwat secara khusus seperti yang telah
dilalui oleh Rasulullah s.a.w. Islam tidak mengubah kehidupan harian. Apa yang
Islam buat adalah menyusun kehidupan yang ada itu agar ia menjadi jalan yang
lurus menuju kebaikan di dunia dan di akhirat dan seterusnya menemui Tuhan
Rabbul Jalil.
Muslim generasi pertama telah membina asas jalan yang lurus dengan keringat
dan darah mereka, dengan harta dan jiwa mereka. Generasi yang datang kemudian
dapat berjalan di atas jalan lurus yang sudah siap di bina, tidak perlu lagi
membina jalan yang lain. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w yang
berjuang menegakkan jalan yang lurus itu tidak melepaskan sifat-sifat benar,
amanah, menyampaikan dan bijaksana dalam segala urusan termasuk ketika
bertawakal, berserah diri dan beriman kepada Qada dan Qadar. Mereka beriman
kepada takdir dan berserah diri secara bijaksana dan benar. Mereka melihat
tanda mereka berserah diri kepada Tuhan adalah mereka menggunakan segala bakat
dan kemampuan yang Tuhan karuniakan kepada mereka untuk bergerak di atas jalan
yang lurus, melakukan amal salih dan bertakwa. Mereka melihat bahwa tanda
mereka beriman kepada takdir adalah mereka menggunakan segala kekuatan untuk
mempertahankan kebenaran dan yang benar karena yang demikian itulah takdir yang
paling benar, sementara yang lain itu hanyalah bayangan takdir yang samar-samar
dan tidak layak diimani.
Nabi Muhammad s.a.w telah menunjukkan contoh teladan yang benar mengenai
konsep beriman kepada takdir dan bertawakal. Baginda s.a.w cenderung bergerak
dan bartindak di dalam batas kemanusiaan biasa dengan menggunakan bakat
kemanusiaan seperti orang banyak. Pada suatu malam pemuda-pemuda Quraisy
mengepung rumah baginda s.a.w untuk membunuh baginda s.a.w, baginda s.a.w telah
menyuruh Saidina Ali bin Abu Talib tidur di tempat baginda s.a.w biasa tidur
dan Saidina Ali diselimuti dengan kain selimut baginda s.a.w sendiri. Baginda
s.a.w menggunakan strategi, kebijaksanaan dan siasat kemanusiaan untuk
mengalahkan orang-orang yang mau membunuh baginda s.a.w itu. Setelah keluar
dari rumah, baginda s.a.w bersama-sama sahabat paling akrab, Saidina Abu Bakar,
bersembunyi di dalam Gua Saur. Rancangan persembunyian di sana telah di atur
dengan sangat rapi sehingga rahasia tersebut tidak bocor. Semasa di dalam
persembunyian itu maklumat senantiasa di hantar kepada baginda s.a.w oleh anak
lelaki Saidina Abu Bakar. Makanan disediakan oleh bekas hamba Saidina Abu Bakar
yang mengembalakan kambing Saidina Abu Bakar di kaki Bukit Saur. Semua jejak
yang dibuat oleh Rasulullah s.a.w dan Saidina Abu Bakar dihapuskan sehingga
tidak ada tanda-tanda yang mereka bersembunyi di Gua Saur. Sekali lagi kaum
musyrikin dikalahkan oleh kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.
Sewaktu keadaan di Makkah telah tenang sedikit dan telah ada ruang untuk
Rasulullah s.a.w bergerak, pengetahuan tersebut dengan cepat dihantarkan oleh
anak Saidina Abu Bakar dan dengan segera pula Rasulullah s.a.w bartindak di
atas kesempatan yang terbuka itu. Unta-unta Saidina Abu Bakar yang kuat, yang
dijaga khusus untuk tujuan hijrah itu, dan bekal makanan dengan segera
dihantarkan ke Gua Saur. Rasulullah s.a.w bersama Saidina Abu Bakar, dengan
dipandu oleh jurupandu yang mahir, bersegera meninggalkan Gua Saur. Pergerakan
yang begitu cepat hanya bisa terjadi dengan rancangan yang rapi dan bijaksana.
Setelah meninggalkan Gua Saur baginda s.a.w mengambil jalan yang bertentangan
dengan arah Yasrib. Jalan yang paling sukar dan paling tidak di sangka telah
dipilih oleh Rasulullah s.a.w. Selepas melewati kawasan bahaya barulah
Rasulullah s.a.w membelok ke arah Yasrib.
Tidak ada pengkaji sejarah yang tidak merasa kagum dengan kebijaksanaan
Rasulullah s.a.w. Kebijaksanaan baginda s.a.w sudah tampak nyata ketika baginda
s.a.w masih muda belia. Kekuatan akal baginda s.a.w dapat mengalahkan kekuatan
akal semua manusia. Semua akal tunduk kepada akal yang mendapat pembukaan dari
Allah s.w.t. Kebijaksanaan merupakan mukjizat Rasulullah s.a.w yang sangat jelas.
Ketika suku-suku Quraisy sudah sampai kepada peringkat mau berperang sesama mereka
akibat kebuntuan akal mereka menentukan siapakah yang layak meletakkan Hajaral
Aswad ke tempat asalnya setelah Kaabah dibina, Nabi Muhammad s.a.w yang pada
masa itu masih seorang pemuda, dengan mudah saja menyelesaikan pertikaian
tersebut, tanpa memerlukan waktu untuk berfikir, tanpa meminta pendapat
siapapun dan tanpa ragu-ragu baginda s.a.w mengeluarkan formula yang diterima
oleh semua orang. Kebijaksanaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna lagi
setelah mendapat penerangan dari wahyu. Tidak ada sepatah pun perkataan baginda
s.a.w yang sia-sia. Tidak ada satu pun perbuatan baginda s.a.w yang tidak
bermanfaat. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja di dunia ini yang setiap
patah perkataan dan setiap perbuatannya direkodkan. Hingga kini belum ditemukan
kekhilafan pada perbuatan dan perkataan baginda s.a.w.
Rasulullah s.a.w melaksanakan segala tugas dengan cemerlang, dengan
menggunakan bakat dan kemampuan kemanusiaan. Memang benar baginda s.a.w dikaruniakan
mukjizat tetapi mukjizat hanya datang setelah baginda s.a.w menggunakan bakat/kemampuan
kemanusiaan dalam melaksanakan tugas. Baginda s.a.w tidak melepaskan
sifat-sifat kemanusiaan lantaran kunci mukjizat berada dalam tangan. Bahkan kemampuan
baginda s.a.w menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan menggunakan kemampuan
kemanusiaan merupakan mukjizat yang sangat luar biasa. Baginda s.a.w telah
membuktikan bahwa seseorang insan yang dapat mempertahankan sifat-sifat
kemanusiaan dan kehambaan dalam segala keadaan dan makam itulah perkara yang
sangat luar biasa. Di bumi, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah
s.w.t dan Rasul-Nya. Di langit, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba
Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Bahkan di hadapan Allah s.w.t, Nabi Muhammad s.a.w
sujud sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya. Tidak terbalik pandangan baginda s.a.w
lantaran berlaku perubahan kedudukan dan makam.
Peristiwa hijrah memberi pengajaran yang sangat berguna kepada umat manusia
agar mereka menghargai bakat dan kemampuan kemanusiaan yang Allah s.w.t karuniakan
kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w telah mengajarkan bahwa menggunakan akal
fikiran, mengadakan strategi dan rancangan serta melakukan ikhtiar dan usaha
adalah sebagian dari paket beriman kepada takdir, bertawakal dan berserah diri.
Jika ada orang yang menafsirkannya secara lain tentu tafsirannya berbeda dengan
tafsir yang dikeluarkan secara nyata melalui perbuatan oleh Rasulullah s.a.w.
Sebelum kedatangan wahyu Nabi Muhammad s.a.w memasuki amalan berkhalwat.
Setelah wahyu datang baginda s.a.w dibimbing oleh wahyu untuk membimbing umat
manusia. Baginda s.a.w membawa pengikut-pengikutnya menempuh lautan bala
bencana, menanggung siksaan dan menghadapi tentangan karena semua itu adalah
batu ujian yang menggilap iman. Tarekat khalwat sudah berubah menjadi tarekat
kehidupan harian yang penuh dengan ujian bala bencana.
Rasulullah s.a.w dan Muslim generasi pertama berjalan di atas ranjau
kehidupan, menghadapi kezaliman dan menanggung penderitaan. Keluarga Yasir yang
menjadi hamba kepada suku Banu Makhzum telah disiksa dengan sangat hebat
sekali. Mereka dijemur di lembah Makkah diwaktu panas terik dengan diletakkan
batu di atas dada mereka. Rasulullah s.a.w menziarahi keluarga Yasir dan
memberikan kekuatan rohani kepada mereka. Baginda s.a.w bersabda yang
maksudnya: “Bergembiralah wahai keluarga Yasir. Kamu akan mendapat tempat di
dalam syurga”. Ucapan Rasulullah s.a.w itu menjadi penawar yang sangat
mujarab, memberi kekuatan kepada keluarga Yasir untuk menanggung penderitaan
yang sedang menimpa mereka. Mereka mampu mempertahankan iman mereka dengan
penuh kesabaran. Mereka telah terhibur dengan janji yang disampaikan oleh
Rasulullah s.a.w. Mereka sedikit pun tidak berasa ragu dengan jaminan Rasulullah
s.a.w itu. Mereka telah mencium bau syurga dan ia menjadikan mereka tenang,
reda dengan takdir Tuhan. Kebahagiaan syurga yang menunggu di hadapan menyapu
segala kesakitan yang sedang dialami.
Walaupun disiksa dengan hebatnya oleh Banu Makhzum namun keluarga Yasir
tidak bergeser dari kepercayaan mereka. Usaha untuk membawa mereka kepada
kekufuran hanya sia-sia. Orang Banu Makhzum yang gagal mengubah akidah keluarga
Yasir, menjadi kerasukan syaitan. Apabila syaitan sudah menguasai mereka
sepenuhnya hilanglah keperimanusiaan mereka. Dada Yasir direjam dengan tombak.
Samyah, isteri Yasir, menjadi lebih bersemangat dan berani menentang tuannya.
Banu Makhzum tidak tahu hendak buat apa lagi dengannya. Samyah diserahkan
kepada Abu Jahal yang ikut serta menyiksa keluarga Yasir itu. Abu Jahal yang
bersekutu dengan iblis, mengambil sebilah tombak dan dengan sekuat-kuat
tenaganya merejamkan tombak itu ke bagian kemaluan Samyah hingga tembus ke
belakang. Keluarlah dua roh suci, naik kepada Tuhan mereka, membawa kemenangan
di dalam mempertahankan tauhid. Yasir dan isterinya Samyah menjadi syuhada yang
pertama dalam Islam. Nama mereka yang diukir dengan tinta emas tidak mungkin
padam dari lembaran sejarah perjuangan Rasulullah s.a.w. Yasir dan Samyah
mendahului para syuhada yang lain, menunggu mereka di pintu syurga.
Selain Yasir dan keluarganya, Bilal bin Rabah dan ibunya juga menerima siksaan
yang berat dari tuan mereka. Mereka menjadi hamba kepada Umayyah bin Khalaf.
Bilal menghadapi segala penyiksaan dari tuannya, lantas ia berkata: “Walaupun
tuan cincang lumat badan saya, tuan pisahkan roh dari tubuh saya, namun agama
ini tetap saya anut dan saya pertahankan sekuat tenaga. Tubuh saya tidak
memerlukan makanan yang enak atau pakaian yang cantik atau kehidupan yang bebas.
Roh saya yang memerlukan makanan dan pakaian dan perlu disucikan. Kini saya
sudah temui yang dapat memenuhi keperluan roh saya sebanyak mungkin. Saya
tidak memerlukan apa-apa lagi dari tuan. Sia-sia saja tuan menghalangi saya
dari mendapatkan yang demikian”.
Ketegasan Bilal menambahkan kemarahan Umayyah. Tangan Bilal diikat dan
lehernya dibelit dengan rantai yang berduri. Bilal tidak diberi makan dan
minum. Usaha yang kejam itu gagal meruntuhkan iman Bilal. Kemudian Bilal
diseret mengelilingi kota Makkah. Orang banyak mengejeknya sambil melemparinya
dengan batu. Tindakan begini juga tidak meruntuhkan iman Bilal. Ketika sampai menghampiri
Kaabah Bilal menjerit sekuat hatinya: “AHAD! AHAD! AHAD!” Perkataan inilah yang
sangat dibenci oleh kaum musyrikin Quraisy. Bilal tidak putus-putus menyebut
Ahad, Ahad, Ahad. Bilal dibawa pula ke padang pasir yang sangat panas. Beliau
dipakaikan baju perang (baju besi). Bilal yang dipakaikan baju besi itu dijemur
di tengah panas yang sangat terik. Iman Bilal terus memancar. Perkataan Ahad
terus keluar dari celah bibirnya. Orang musyrikin sudah tidak dapat menahan
geram lagi. Mereka mengangkat sebuah batu besar dan diletakkan di atas dada
Bilal. Nun di atas sana matahari ‘menyala’. Di bawah juga pasir ‘membara’. Di
antara keduanya adalah Bilal yang berpakaian baju besi dan ditindih pula oleh
batu besar. Bilal tidak nampak matahari, pasir atau batu besar. Bilal tidak
merasakan kepanasan atau keberatan. Bilal hanya melihat satu saja yaitu Yang
Maha Satu, Maha Esa, Ahad! Bilal menikmati kelezatan menyaksikan Yang Maha Esa.
Dari celah bibirnya, dengan nada yang perlahan dan tersekat-sekat, masih lagi
keluar ucapan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Dengarlah Bilal bermunajat: “Jika mereka
mau membunuh aku agar aku menyekutukan Tuhan ar-Rahman, biarlah aku mati daripada
aku berbuat demikian. Aku lebih takut menyekutukan Allah. Allahumma! Tuhan
Ibrahim, Tuhan Yunus, Tuhan Musa dan Tuhan Isa. Selamatkan iman daku!”
Bilal telah lulus ujian makam keesaan. Bilal sudah memperoleh pancaran
Ahadiyyah. Allah s.w.t menghantarkan wakil-Nya untuk menyelamatkan hamba-Nya
yang telah membuang segala sesuatu dari hatinya selain Allah s.w.t. Abu Bakar,
lelaki benar lagi jujur, datang ke tempat Bilal yang sedang hebat disiksa. Abu
Bakar mau membeli Bilal yang imannya sudah dibeli oleh Allah s.w.t. Apakah
Umayyah mau melihat Bilal mati dan dia rugi? Umayyah mengambil peluang yang
ditawarkan oleh Abu Bakar. Bilal dijual kepada Abu Bakar dengan harga lima kali
lebih mahal dari harga biasa seorang hamba. Abu Bakar membayarnya tanpa tawar
menawar. Abu Bakar mencoba mengangkat batu yang di atas dada Bilal tetapi tidak
berdaya. Beliau naik berang. Dibentaknya orang-orang yang berada di tempat itu.
Barulah mereka datang mengangkat batu tersebut. Baju besi juga dilepaskan dari
tubuh Bilal. Bilal sudah bebas dari matahari yang menyala dan pasir yang
membara. Bilal sudah bebas dari batu yang menindih dadanya. Bilal sudah bebas
dari baju besi yang membungkusnya. Bilal bertanya kepada Abu Bakar: “Adakah
tuan membeli saya untuk menjadi hamba tuan?” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah,
wahai Bilal engkau aku bebaskan”. Bebaslah Bilal sepenuhnya dari segala bentuk
perhambaan kecuali kehambaan terhadap Allah s.w.t. Ibu Bilal, Hamamah, juga
dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Hamba-hamba yang dibeli dan dibebaskan
oleh Abu Bakar adalah Amir bin Furahah (lelaki yang mengembala kambing di kaki
Gunung Saur sewaktu Rasulullah bersembunyi di sana sebelum berangkat ke
Madinah), Abu Fukaihah, Zinnirah, Ummu Ubais, an-Nahyah dan anak perempuannya,
Khabbab bin al-Aratti (lelaki yang berada bersama-sama adik perempuan Umar
al-Khattab dan suaminya ketika Umar menerpa masuk dan merampas lembaran yang
tertulis ayat al-Quran yang sedang dibaca oleh adiknya) dan seorang hamba
perempuan Banu Zuhrah.
Rasulullah s.a.w dan Muslim telah menjalani tarekat ujian bala. Mereka
terpaksa meninggalkan kampung halaman, rumah tangga, kaum keluarga, harta benda
dan pekerjaan demi menyelamatkan akidah mereka. Walau bagaimana keras ujian
yang mereka terima namun, mereka tetap berpijak di atas bumi yang nyata.
Tarekat mereka adalah kekhalifahan di bumi. Mereka beriman kepada akhirat dan
perkara ghaib dan mereka juga beriman kepada perkara kehidupan harian di dalam
dunia ini yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka menuju akhirat dengan
menunggang dunia. Tidak ada di antara mereka yang lari dari dunia lantaran
cinta akan Allah s.w.t dan akhirat. Mereka adalah orang-orang yang diakui oleh
Rasulullah s.a.w sebagai golongan yang paling baik pernah wujud/ada di atas muka
bumi. Itulah golongan yang menggabungkan kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat, golongan yang menjadikan dunia sebagai kebun akhirat. Mereka menyintai
Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa membuang dunia dan akhirat. Mereka mendukung
tarekat Islam yaitu mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan melakukan
kehambaan kepada Allah s.w.t dengan sebenar-benar kehambaan serta melakukan
amal salih dan bertakwa.
Mungkin tidak seorang pun yang datang kemudian telah mengalami zauk atau
kefanaan yang dialami oleh Bilal sewaktu dijemur di panas terik dengan
berpakaian baju besi dan ditindih batu besar di atas dadanya. Dalam puncak
kefanaan dan zauk Bilal mengucapkan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Suasana ketuhanan yang
menguasai Bilal dan yang sedang disaksikan oleh mata hati Bilal menyebabkan
terucap perkataan AHAD bukan “ana al-Haq!” Masih adakah umat kemudian yang
semulia Bilal, juru azan Rasulullah s.a.w? Bukankah pada malam Israk dan Mikraj
Rasulullah s.a.w mendengar bunyi terompah Bilal di dalam syurga. Kemuliaan dan
ketinggian derajat Bilal masih tidak mengatasi derajat Abu Bakar as-Siddik,
sedangkan Abu Bakar tidak melalui makam fana dan zauk. Beliau r.a senantiasa di
dalam keadaan jaga. Zauknya adalah mencintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya.
Kefanaan beliau r.a adalah wahyu. Kebaqaan beliau r.a adalah ubudiah. Begitu
juga halnya dengan Umar, Usman dan Ali. Jalan dimasa para sahabat itu adalah
jalan yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w dan jalan demikian diistilahkan
sebagai jalan kenabian.
Selasa, Mei 08, 2012
RASULULLAH S.A.W DAN PARA SAHABAT FANA DALAM WAHYU BAQA DALAM UBUDIAH
Pada hari Isnin 17 Ramadan bersamaan 6 Agustus 610
Masehi, ketika Nabi Muhammad s.a.w berusia 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari, datanglah
malaikat Jibrail a.s kepada baginda s.a.w yang sedang berkhalwat di Gua Hiraa.
Jibrail a.s yang muncul secara tiba-tiba itu terus berkata: “Baca!” Nabi
Muhammad s.a.w menjawab: “Saya tidak tahu membaca”. Jibrail a.s terus menangkap
Nabi Muhammad s.a.w. Disergapnya baginda s.a.w dengan kain selendang dan
dipeluknya sehingga baginda s.a.w mengalami kesukaran untuk bernafas. Kemudian
dilepaskannya dan disuruhnya baginda s.a.w membaca seperti yang pertama.
Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Sekali lagi Jibrail a.s
menangkap Nabi Muhammad s.a.w dan dilakukannya seperti pertama tadi. Pelukan
Jibrail a.s kali ini lebih erat dari yang pertama tadi, menyebabkan baginda
s.a.w hampir-hampir tidak dapat bernafas. Kemudian baginda s.a.w dilepaskan oleh
Jibrail a.s dan disuruhnya lagi baginda s.a.w membaca. Baginda s.a.w masih
mengatakan tidak tahu membaca. Buat kali ke tiga Jibrail a.s menangkap Nabi
Muhammad s.a.w, menutup baginda s.a.w dengan kain selendang dan memeluk baginda
s.a.w dengan erat. Perbuatan yang demikian sangat melelahkan baginda s.a.w
bernafas. Setelah melepaskan baginda s.a.w buat kali ke tiganya, Jibrail a.s
membacakan firman Allah :
Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk). Ia menciptakan manusia dari
segumpal darah beku. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar manusia melalui pena dan tulisan, Ia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya. ( Ayat 1 – 5 : Surah al-‘Alaq )
Terpatrilah wahyu pertama di dalam dada Nabi Muhammad s.a.w. Sekali Jibrail
a.s membacakan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w, wahyu tersebut akan melekat,
terpahat pada hati baginda s.a.w, tidak akan hilang buat selama-lamanya.
Baginda s.a.w mengikuti bacaan Jibrail a.s dengan fasih. Setiap huruf dan ayat
yang baginda s.a.w bacakan membuka segala tutupan dan menguraikan segala
simpulan yang tidak mampu diuraikan oleh fitrah baginda s.a.w selama baginda
s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa. Apa yang tidak mampu disingkap oleh akal dan
renungan batin sudah terjawab dengan kedatangan wahyu. Kebenaran yang
disampaikan oleh wahyu adalah kebenaran yang muktamad.
Nabi Muhammad s.a.w menerima wahyu dengan sepenuh jiwa raga tanpa ada
keraguan. Baginda s.a.w yakin dengan kebenaran berita dan janji yang wahyu
sampaikan. Wahyu senantiasa turun membimbing baginda s.a.w serta memberi
ketetapan hati, meneguhkan kepercayaan dan pendirian baginda s.a.w di dalam
melaksanakan amanah yang Allah s.w.t serahkan kepada baginda s.a.w. Waktu wahyu
turun kepada baginda s.a.w adalah 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui tujuh cara :
- Cara yang pertama adalah
mimpi yang benar. Apabila baginda s.a.w melihat sesuatu di dalam mimpi,
pandangan yang kelihatan adalah terang seperti cuaca subuh. Apa yang baginda
s.a.w saksikan di dalam mimpi benar-benar berlaku.
- Wahyu cara ke dua
dihantarkan oleh malaikat kepada hati baginda s.a.w. Baginda s.a.w mengetahui
sesuatu secara spontan, tanpa berfikir atau merenung.
- Wahyu cara ke tiga dibawa
oleh malaikat Jibrail a.s yang menggunakan bentuk misal. Contohnya Jibrail a.s
pernah memakai rupa salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w yang tampan wajahnya
yaitu Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat inilah yang kemudian hari menjadi
wakil Rasulullah s.a.w menyampaikan surat baginda s.a.w kepada Heraklius,
penguasa kerajaan Roman Timur.
- Wahyu cara ke empat yang
datang kepada Rasulullah s.a.w seperti suara loceng. Wahyu cara inilah yang
paling berat dan memenatkan baginda s.a.w. Baginda s.a.w pernah berpeluh pada
musim dingin tatkala menerima kedatangan wahyu cara ke empat ini. Pernah satu
ketika paha Rasulullah s.a.w sedang menindih paha Zaid bin Sabit ketika wahyu
yang seperti suara loceng ini turun kepada baginda s.a.w. Zaid merasakan
seolah-olah pahanya akan pecah menanggung paha Rasulullah s.a.w yang sedang
menerima wahyu tersebut.
- Wahyu cara ke lima datang
kepada Rasulullah s.a.w dengan menderu seperti suara lebah.
- Pada cara ke enam pula
Jibrail a.s datang kepada Rasulullah s.a.w dalam rupanya yang asli.
- Wahyu cara ke tujuh adalah
penyampaian secara langsung dari Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w, tanpa
perantaraan, seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa a.s.
Ketegasan dan keteguhan Rasulullah s.a.w menyampaikan dakwah melalui
bimbingan wahyu tampak pada kata-kata baginda s.a.w kepada paman baginda s.a.w,
Abu Talib, yang menyampaikan kepada baginda s.a.w permintaan kaumnya agar
baginda s.a.w menghentikan pekerjaan dakwah. Baginda s.a.w memberikan jawaban
yang tegas: “Wahai bapaku. Walaupun mereka meletakkan matahari pada bahuku
yang kanan dan bulan pada bahuku yang kiri dengan maksud daku meninggalkan
tugasku, tidak akan daku tinggalkannya sehinggalah agama ini menang atau daku
binasa sebelumnya!”
Nabi Muhammad s.a.w tidak pernah melepaskan ketergantungan kepada Allah
s.w.t. Baginda s.a.w memperoleh bermacam-macam kemuliaan dan ketinggian tetapi
segala puji-pujian dikembalikan kepada Allah s.w.t semata-mata. Apabila baginda
s.a.w dipuji oleh orang, baginda s.a.w mengembalikan pujian itu kepada Allah
s.w.t. Baginda s.a.w sangat cermat dan tegas di dalam menanggung wahyu. Apa
yang diperintahkan oleh Allah s.w.t baginda s.a.w melaksanakannya sendiri
terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain melakukannya. Baginda s.a.w telah
menunjukkan contoh teladan melalui diri baginda s.a.w sendiri. Tidak ada
istilah hukum yang wajib untuk umat tetapi tidak wajib untuk Rasulullah s.a.w.
Hukum Allah s.w.t berjalan sama rata sama rasa, kepada Rasulullah s.a.w dan
juga kepada umat baginda s.a.w. Jika umat baginda s.a.w wajib mengerjakan shalat
lima waktu sehari semalam baginda s.a.w juga wajib berbuat demikian, malah
baginda s.a.w lakukan melebihi dari apa yang dikerjakan oleh orang lain.
Baginda s.a.w memperbanyak shalat malam hingga bengkak tumit baginda s.a.w,
tetapi umat baginda s.a.w tidak diwajibkan berbuat demikian, walaupun dianjurkan.
Nabi Muhammad s.a.w sangat mengasihi umat manusia. Baginda s.a.w pernah
disakiti oleh kaum baginda s.a.w tetapi baginda s.a.w menolak mendoakan
keburukan untuk mereka. Baginda s.a.w lebih suka mendoakan: “Wahai Tuhanku!
Tunjukilah kaumku karena mereka tidak mengerti.” Kadang-kadang baginda
s.a.w mendoakan: “Wahai Tuhanku! Ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu”.
Begitulah halusnya nilai budi dan akhlak Rasulullah s.a.w yang diasuh oleh
wahyu.
Rasulullah s.a.w menerima wahyu sebagai kebenaran yang Mutlak. Apa saja kemampuan
yang ada dengan baginda s.a.w seperti fikiran, ilham dan kasyaf, baginda s.a.w
gunakan sebaik mungkin untuk menterjemahkan wahyu dan menyatakan kebenaran
wahyu itu. Tidak pernah terjadi baginda s.a.w mengeluarkan buah fikiran, ilham
atau kasyaf yang berbeda dengan wahyu. Baginda s.a.w menggunakan segala kemampuan
baginda s.a.w untuk menyokong wahyu. Cara yang baginda amalkan menyebabkan
Hadis menjadi sumber hukum setelah al-Quran. Hadis yang benar dari Rasulullah
s.a.w tidak sedikitpun berbeda dengan al-Quran.
Rasulullah s.a.w dengan perintah, petunjuk dan bimbingan wahyu menjalani
kehidupan di dalam dunia ini sebagai manusia biasa bukan sebagai malaikat atau
manusia luar biasa. Baginda s.a.w menjalani kehidupan yang ada urusan beristeri
dan berkeluarga, bermasyarakat, merasakan kenyang dan lapar, sehat dan sakit
dan segala aspek kehidupan manusia biasa, sampai baginda s.a.w menjalani juga
proses kematian walaupun ada Nabi yang tidak menjalani proses tersebut.
Kehidupan yang baginda s.a.w jalani itu berdasarkan bimbingan wahyu yang maha
benar. Baginda s.a.w adalah orang yang paling arif mengenai maksud wahyu.
Terjemahan wahyu yang baginda s.a.w tunjukkan dengan prinsip dan amalan
kehidupan baginda s.a.w sendiri merupakan suasana kehidupan yang paling utama,
paling baik, paling mulia dan paling tinggi. Suasana demikian juga yang
dijalani oleh para sahabat baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang bergerak
di atas muka bumi, menyebarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah
mengenai enam perkara yang menjadi dasar pembentukan umat yang ingin kembali
kepada kemurnian fitrah mereka dan melaksanakan kewajiban kehambaan kepada
Allah s.w.t. Enam dasar yang konkrit itu adalah:
1. menyampaikan, mengajak serta
membimbing umat manusia supaya mematuhi semua perintah Allah
s.w.t dan menjauhi semua larangan-Nya dengan sepenuh kekuatan dan
kebijaksanaan.
2. bersyukur kepada Allah s.w.t
yang menciptakan dan mengurniakan nikmat kesinambungan hidup sehingga umat
manusia tidak menemui kesukaran di dalam menjalani kehidupan dan mendapatkan
keperluan mereka.
3. membersihkan pakaian dan
perbuatan zahir serta amalan hati bagi mencapai kesempurnaan takwa.
4. meninggalkan segala yang
keji dan munkar seperti syirik, berhala, arak, judi, zina, riba dan lain-lain
yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t.
5. mengikhlaskan niat dan
amalan supaya kepentingan diri tidak merobohkan benteng keadilan dan supaya
fitnah kebendaan tidak memalingkan tujuan ubudiah (kehambaan) terhadap Allah
s.w.t.
6. semua perkara yang
dinyatakan di atas hendaklah dilengkapi dengan sabar karena dugaan di dalam
melakukan kebaikan jauh lebih kuat dari dugaan meninggalkan kejahatan. Sabar
menjadi prinsip yang kukuh mempertahankan diri dalam menghadapi halangan dan rintangan
di sepanjang jalan menyebarkan dan melakukan kebaikan.
Wahyu telah memberi jawaban yang konkrit terhadap permasalahan yang tidak
mampu diurai oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Apabila wahyu datang selesailah
perjuangan batin Nabi Muhammad s.a.w di dalam mencari hakikat yang sebenarnya.
Kebenaran Hakiki yang baginda s.a.w terima melalui wahyu itu
dipertanggungjawabkan kepada baginda s.a.w untuk disampaikan pula kepada
sekalian manusia. Baginda s.a.w tidak bisa lagi memencilkan diri di dalam Gua
Hiraa. Apabila cahaya kebenaran memancar di dalam lubuk hati dan bidang tugas
dibukakan, baginda s.a.w mesti keluar kepada orang banyak, kepada dunia, bagi
menyampaikan amanah yang baginda s.a.w tanggung dengan bersuluhkan cahaya
kebenaran.
Wahyu menceritakan tentang Allah s.w.t, Tuhan yang bersifat dengan
sifat-sifat Kesempurnaan, Yang Maha Mulia dan memiliki nama-nama yang
baik-baik. Diterangkan juga tentang kejadian manusia. Wahyu mengajar manusia
beribadah kepada Allah s.w.t. Diajarkan cara berhubungan dengan sesama manusia.
Wahyu sangat menekankan soal takwa yaitu mematuhi perintah Allah s.w.t, tidak
keluar dari batas jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Allah s.w.t
sendiri. Wahyu mendidik manusia supaya hidup sebagai hamba Tuhan dengan sebenar-benar
kehambaan. Wahyu telah dengan tegas dan jelas meletakkan manusia pada taraf
hamba Tuhan, bukan taraf yang lain dari itu.
Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran kepada kaum
Muslimin. Pendidikan al-Quran berkembang dengan sangat pesat setelah baginda
s.a.w dan kaum Muslimin berhijrah ke Madinah. Jika Rasulullah s.a.w sangat
bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran, kaum Muslimin juga sangat
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Sebagian dari kaum Muhajirin yang berhijrah
ke Madinah terpaksa tinggal di luar kota Madinah, di satu kawasan yang bernama
Sunuh, kira-kira 20 km dari masjid Rasulullah s.a.w. Di sana mereka mendirikan
rumah-rumah dan menguruskan kebun-kebun. Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar
adalah di antara mereka yang tinggal di Sunuh. Jarak 20 km itu tidak menghalangi
mereka mempelajari al-Quran dari Rasulullah s.a.w. Mereka telah menyusun jadual
pembelajaran al-Quran dengan rapi. Tiap-tiap hari mereka menghantarkan dua atau
tiga orang wakil dari Sunuh pergi ke Madinah. Sepanjang hari wakil dari Sunuh
akan mendapatkan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, terutamanya
ayat-ayat al-Quran yang baru turun. Mereka mempelajari al-Quran secara
menghafal dan memahami dengan lengkap. Jika ada larangan atau perintah atau
amalan yang disampaikan oleh al-Quran mereka akan mendapatkan penjelasan yang
sejelas-jelasnya dari Rasulullah s.a.w. Apa saja ayat yang turun pada hari itu
mesti dihafalkan pada hari itu juga karena pada hari esoknya mungkin ada pula
ayat-ayat yang baru turun. Setelah hari petang mereka kembali ke Sunuh dan pada
malam itu juga atau paling lambat keesokan harinya semua pelajaran yang
diterima dari Rasulullah s.a.w sudah disampaikan kepada semua kaum Muslimin di
Sunuh. Mereka mempelajari al-Quran tanpa tanggung-tanggung. Al-Quran dipelajari
secara menyeluruh yaitu membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan. Program
pembelajaran al-Quran yang diatur oleh Saidina Abu Bakar dan sahabat-sahabat
beliau di Sunuh sungguh berkesan sehingga mereka bisa menjalankan kegiatan
harian untuk menampung perbelanjaan mereka dan pada masa yang sama mereka bisa
mempelajari al-Quran dengan sempurna. Kegiatan pertanian, perniagaan,
penternakan, pertukangan dan lain-lain bisa berjalan dengan lancar jika
pembelajaran al-Quran dilakukan dengan bersistematik. Kesungguhan mempelajari
al-Quran tidak melalaikan urusan kehidupan harian.
Rasulullah s.a.w sangat teliti di dalam menyampaikan ayat-ayat suci
al-Quran kepada kaum Muslimin. Setiap kali turun ayat baginda s.a.w akan
mengumpulkan sahabat-sahabat baginda s.a.w dan ayat yang baru turun itu
disampaikan dengan pembacaan yang betul, sebutan setiap huruf mengikuti
kadar panjang dan pendek yang harus dibunyikan. Bacaan yang tepat sebutannya
dihafal berulang-ulang sehingga ayat-ayat tersebut benar-benar melekat di dalam
ingatan dan hati mereka. Mereka tidak bergeser dari majlis Rasulullah s.a.w
sebelum mereka dapat menyebut ayat-ayat al-Quran dengan betul dan menghafalnya
dengan baik. Bukan sekedar membaca dan menghafal, malah mereka juga
dilengkapkan dengan pengetahuan dan pengertian yang jelas tentang maksud ayat,
kedudukan susunannya di dalam al-Quran dan hubung-kaitnya dengan ayat-ayat yang
lain. Jika ayat tersebut melibatkan peraturan dan amalan maka kaedah peraturan
dan amalan itu difahami benar-benar. Semua itu mereka pelajari secara langsung
dari Rasulullah s.a.w. Kemudian apa yang sudah mereka pelajari itu mereka
sampaikan pula kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menghadiri majlis
Rasulullah s.a.w.
Selain dihafal, ayat-ayat al-Quran juga ditulis di atas kulit binatang,
tulang-tulang yang lebar, pelepah-pelepah kurma yang sudah dikeringkan dan
batu-batu yang lebar. Jadi, ayat al-Quran bukan saja dipelihara di dalam dada
kaum Muslimin malah ia juga dipelihara secara tertulis. Lembaran tulisan al-Quran
itu disimpan di rumah Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w telah mewariskan al-Quran kepada umat baginda s.a.w dengan
cara yang paling berkesan dan selamat. Atas kebijaksanaan baginda s.a.w umat
Islam yang datang kemudian dapat menerima al-Quran dalam keasliannya. Selain dari
jurutulis wahyu yang khusus terdapat kira-kira 40 orang yang mengambil bagian
di dalam bidang penulisan wahyu. Cara yang demikian lebih memudahkan kaum
Muslimin menyebarkan al-Quran.
Rasulullah s.a.w sangat menekankan soal menghafal al-Quran. Baginda s.a.w
memberi petunjuk mengenai penghafalan ayat-ayat al-Quran dengan sabda baginda
s.a.w yang bermaksud: “Perumpamaan orang yang menghafal al-Quran adalah seperti
orang yang memiliki unta yang diikat. Jika unta itu dijaga ia terpelihara. Jika
dilepaskan ia akan hilang”. Baginda s.a.w mengajarkan supaya mengikat
hafalan al-Quran dengan cara terus mengulangi bacaannya sesering mungkin sesuai
kemampuan. Selain dari menghafal, pemahaman dan amalan juga dititik-beratkan.
Ibnu Mas’ud menceritakan: “Apabila seseorang dari kami mempelajari sepuluh
ayat al-Quran kami tidak akan berpindah
kepada ayat lain sebelum kami mengetahui benar-benar maksudnya dan tahu cara mengamalkannya”.
Banyak para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w mengajarkan ayat-ayat
al-Quran kepada mereka secara sepuluh ayat sekali belajar, tetapi lengkap
dengan menghafal, memahami maksud, tahu mengamalkannya dan tahu kedudukannya
berhubungan dengan ayat-ayat lain yang turun terdahulu. Mereka mempelajari
al-Quran, menyimpan serta mengamalkannya.
Rasulullah s.a.w senantiasa membaca al-Quran secara tartil, membaca dengan
terang dan perlahan-lahan, mengeluarkan bunyi setiap huruf dengan jelas. Cara
bacaan yang demikian baginda s.a.w sebarkan kepada para sahabat. Cara tersebut
selain memberi faedah kepada para pembaca juga memudahkan pendengar mengikuti
serta menghafalnya.
Rasulullah s.a.w mampu membentuk satu umat yang tidak pernah ada di
atas muka bumi seperti mereka sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang menyamai
mereka sesudahnya. Itulah umat yang semua ahlinya terdiri dari orang yang arif
tentang al-Quran. Jika dilihat al-Quran dari sudut kelembagaan negara maka
setiap ahli masyarakatnya adalah ahli politik yang arif tentang peraturan
negara. Jika dilihat al-Quran sebagai kode etika sosial maka setiap ahli
masyarakatnya adalah pemimpin yang bertanggung-jawab kepada apa yang dipimpin,
baik keluarga, perniagaan, pertanian, penternakan dan sebagainya. Jika dilihat
al-Quran sebagai kitab ilmu perang maka setiap ahli masyarakatnya adalah
perajurit yang senantiasa bersedia menyahut panggilan jihad. Jika al-Quran
dilihat sebagai peraturan kehidupan maka setiap ahlinya adalah ahli syariat
yang taat. Jika dilihat al-Quran sebagai penyampai khabar tentang Allah s.w.t
maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli makrifat yang benar-benar mengenal
Allah s.w.t. Jika dilihat al-Quran sebagai ajaran penyucian hati maka setiap
ahli masyarakatnya adalah yang sangat mendalam pengertian mereka mengenai hati.
Mereka beragama secara menyeluruh. Darah, daging, tulang, sumsun dan urat saraf
adalah Muslim. Pendengaran, penglihatan, penciuman, pergerakan dan akal fikiran
mereka adalah Muslim. Hati mereka adalah Muslim. Roh mereka adalah Muslim.
Mereka memakai satu makam saja yaitu makam HAMBA ALLAH! Mereka tidak tahu
perbedaan istilah-istilah syariat, tarekat, hakikat, makrifat, ilmu tauhid,
ilmu fikih, ilmu tasauf dan yang seumpamanya. Mereka adalah ahli al-Quran dan
ilmu mereka adalah ilmu al-Quran.
Rasulullah s.a.w menyiramkan roh dan jiwa raga sahabat baginda s.a.w dengan
air al-Quran. Lahirlah individu yang tangkas dan giat (gesit) dalam segala
bidang. Mereka yang menjadi petani bekerja bersungguh-sungguh dengan segala
kemahiran yang mereka miliki bagi menghasilkan makanan dan keperluan kaum
Muslimin. Peniaga juga mengumpulkan harta sebanyak mungkin secara halal untuk
disumbangkan kepada pembangunan umat dan jihad fi-sabilillah. Apa saja nikmat
yang diperolehi diakui sebagai karuniaan Allah s.w.t yang dipertaruhkan sebagai
amanah, bukan sebagai milik individu sepenuhnya. Individu yang menerima karuniaan
tersebut mengurusnya dengan cara yang diredai oleh Allah s.w.t. Apabila
pemilikan harta longgar pada hati mudahlah melepaskannya demi kepentingan agama
Allah s.w.t karena Allah s.w.t adalah Pemilik sebenarnya. Saidina Abu Bakar
as-Siddik melepaskan kesemua hartanya demi jihad fi-sabilillah. Para sahabat
yang lain menyumbangkan menurut kadar masing-masing. Tidak ada yang menuntut
harta sebagai pemilikan mereka sepenuhnya. Kaum Ansar telah membuktikannya
dengan kesanggupan mereka melepaskan harta dan tanah pemilikan mereka demi
membantu saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Apa yang dilepaskan itu
diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah s.a.w. Terpulang kepada baginda s.a.w
bagaimana mau membagikan harta Ansar tersebut.
Al-Quran telah membimbing Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin agar
bergerak tangkas dan gesit dalam segala bidang untuk membentuk kehidupan yang
sehat sejahtera sesuai dengan kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Kehidupan
dunia yang demikian menjadi asas kepada kehidupan akhirat. Kesungguhan
Rasulullah s.a.w dan para sahabat membina kesejahteraan di bumi dapat dilihat
melalui program dan strategi pertahanan dan ketenteraan yang rapi disusun oleh
baginda s.a.w bersama-sama para sahabat baginda s.a.w. Ketika berlaku Perang
Badar dalam tahun ke dua hijrah tentera Islam terdiri dari 313 orang dengan
alat kelengkapan perang yang sangat sederhana. Ketika berlaku Perang Uhud dalam
tahun ke tiga hijrah tentera Islam berjumlah 700 orang dengan kelengkapan
perang yang lebih baik dari ketika Perang Badar dahulu. Dalam tahun ke lima
hijrah berlaku pula Perang Khandak. Dalam peperangan tersebut tentera Islam
sudah berjumlah 3,000 orang dengan kelengkapan perang yang mencukupi. Dalam
tahun ke enam hijrah Rasulullah s.a.w memimpin 1.700 orang kaum Muslimin menuju
Makkah dengan bilangan kuda sebanyak 200 ekor. Dalam tahun ke sepuluh hijrah
baginda s.a.w memimpin 10.000 orang tentera Muslimin menaklukan kota Makkah.
Bilangan kuda pada masa itu sudah berjumlah 1.000 ekor. Pada tahun ke sembilan
hijrah baginda s.a.w memimpin hampir 40.000 orang tentera Muslimin ke Tabbuk
dalam daerah Syam. Mereka menggunakan 10.000 ekor kuda dan 20.000 ekor unta.
Mereka mampu menempuh jarak 2.000 batu yang sebagian besarnya adalah padang
pasir. Bukan pekerjaan yang mudah membentuk 40.000 orang tentera yang tinggal
di merata tempat dalam Semenanjung Arab. Mereka terdiri dari bermacam-macam
suku dan kaum. Kerja penyelarasan pasukan tentera yang begitu besar bukanlah
mudah. 40.000 orang tentera, 10.000 ekor kuda dan 20.000 ekor unta berkumpul di
Madinah pada satu masa sebelum berangkat ke Tabbuk. Tempat tinggal, makan dan
minum mereka semua diperlukan.
Pekerjaan yang berat itu dapat diselenggarakan oleh kaum Muslimin di bawah
pimpinan Rasulullah s.a.w. Apa yang tidak dapat dibuat oleh umat lain mampu
dilakukan oleh umat Nabi Muhammad s.a.w karena mereka mendapat pimpinan yang
langsung dari Allah s.w.t melalui wahyu-Nya, melalui Rasul-Nya. Al-Quran telah mampu
membentuk umat yang menjadi penolong dan pembela agama Allah s.w.t. Rasulullah
s.a.w mengatakan di Arafah bahwa orang yang bisa menolong agama Islam adalah
mereka yang memberikan sepenuh hatinya kepada Islam dan bekerja dalam segala bidang
untuk Islam. Hanya mereka yang menyerahkan seluruh dirinya, tenaganya, hartanya
dan masanya untuk Islam yang benar-benar mampu meninggikan Islam. Orang yang
menolong Islam dalam satu bidang saja, misalnya dalam bidang ibadat saja atau
dalam bidang ekonomi saja atau politik saja, tidak banyak membantu kepada
pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Hanya golongan Ansar (orang
yang menolong dan membela Islam dalam segala bidang) dapat menyokong
perkembangan Islam. Orang Ansar mencukupkan segala kepentingan diri demi agama
Allah s.w.t, karena Allah s.w.t!
Rasulullah s.a.w juga memberikan perhatian kepada bidang ekonomi. Di dalam rencana
pembangunan Madinah baginda s.a.w tidak lupa menyediakan kawasan untuk
dijadikan pusat perniagaan kaum Muslimin. Sebelumnya kaum Muslimin Madinah
berkumpul di pasar Yahudi Banu Kainuka. Sistem pasar tersebut berjalan menurut
peraturan Yahudi. Rasulullah s.a.w sangat tidak menyukai apa saja yang berbeda
dengan peraturan Allah s.w.t. Baginda s.a.w mau kaum Muslimin berniaga menurut
prinsip perekonomian Islam. Oleh itu baginda s.a.w membuka pusat perniagaan
yang baru. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Inilah lapak/tenda tempat
perniagaan kamu, semoga ia tidak sempit dan tidak dipungut hasil
padanya”. Muncullah sebuah pasar kecil yang berperanan sebagai pasar
bebas cukai milik kaum Muslimin Madinah. Pusat perniagaan yang dibuka oleh
Rasulullah s.a.w itu diberkati Allah s.w.t. Pengunjungnya senantiasa bertambah
dan pada masa yang sama pasar Yahudi menjadi semakin lengang.
Tugas Rasulullah s.a.w dalam bidang ekonomi bukan sekedar menyediakan
kawasan perniagaan saja. Baginda s.a.w juga melindunginya agar keadilan dalam
perniagaan ditegakkan di sana. Satu ketika baginda s.a.w melihat ada didirikan
kemah di kawasan perniagaan tersebut. Baginda s.a.w memerintahkan agar kemah
itu dibakar. Sebelum terjadi perlombaan mengawal kepentingan diri sendiri
dengan mencabut hak orang lain, pertama-tama Rasulullah s.a.w mencabut pokok
yang berbisa itu, sebelum ia sempat tumbuh segar dan merusakkan sistem
perekonomian kaum Muslimin. Baginda s.a.w tidak mau ruang perniagaan menjadi
sempit lantaran didirikan bangunan di atasnya. Tidak ada pemilikan dan
penguasaan individu di dalam kawasan perniagaan yang di bangun oleh Rasulullah
s.a.w.
Pada masa yang lain pula Rasulullah s.a.w melihat ada peniaga yang menumpuk
gandum. Baginda s.a.w memasukkan tangan baginda s.a.w ke dalam tumpukan gandum
itu dan mendapati bagian bawahnya basah. Baginda s.a.w memerintahkan agar
bagian yang basah diletakkan di atas supaya pembeli tidak tartipu. Baginda
s.a.w juga menegur sikap peniaga yang sengaja menaikkan harga barang. Baginda
s.a.w bersabda yang maksudnya: “Orang yang membawa barang ke pasar ini seperti
orang yang berjihad fi-sabilillah. Orang yang menaikkan harga barang seperti
orang yang kufur dengan Allah s.w.t”.
Di dalam rencana pembangunan Madinah masjid menjadi pusat atau jantung yang
segala aktiviti bergerak mengelilinginya. ‘Roh’ kepada jantung itu adalah Nabi
Muhammad s.a.w. Dari masjid baginda s.a.w memancarkan kehidupan yang baik yang
berbentuk kerohanian dan juga kebendaan. Jika masjid diibaratkan jantung, maka
darah yang dihantarkan oleh jantung kepada semua bagian adalah al-Quran. Darah
al-Quran memberikan kekuatan kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin bekerja di
atas dasar mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Pembangunan kebendaan
berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Wahyu meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada Rasulullah s.a.w dan
pengikut baginda s.a.w. Setiap kali wahyu turun terjadilah perubahan pada diri
mereka dan suasana di sekeliling mereka. Wahyu yang dibacakan sendiri oleh
Rasulullah s.a.w mempunyai kekuatan untuk mendatangkan perubahan. Apabila
Rasulullah s.a.w membaca wahyu yang menegur sesuatu perkara yang ada pada
mereka, maka dengan segera mereka mengambil tindakan menyesuaikan diri dengan
teguran tersebut. Amalan, kepercayaan, tradisi dan apa saja, mereka bisa
lepaskan dengan mudah apabila datang perintah wahyu. Pekerjaan berat dan belum
pernah mereka lakukan akan menjadi ringan jika wahyu memerintahkan mereka
melakukan pekerjaan tersebut. Apabila datang wahyu mengharamkan arak, orang
yang sedang memegang botol arak terus mencampakkannya, sekalipun mereka
merupakan orang yang ketagihkan arak. Begitulah kekuatan wahyu yang dibacakan
secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Kaum Muslimin senantiasa mengharapkan
kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran kepada mereka.
Kedatangan wahyu adalah umpama kedatangan kekasih yang mereka rindui. Mereka
fana di dalam wahyu hingga tidak ada perkataan yang menguasai mereka melebihi
perkataan Allah s.w.t. Mereka baqa di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan
kepada Allah s.w.t hingga tidak ada yang menguasai mereka melainkan peraturan
Allah s.w.t. Itulah umat Nabi Muhammad s.a.w yang fana dalam wahyu dan baqa
dalam ubudiah (kehambaan).
Langganan:
Postingan (Atom)