Selamat Datang.............

Kamis, Juni 21, 2012

Jidat Hitam Benarkah Sunnah?


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
 عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
 عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).
 عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).
 عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
 عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
 يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalu muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.
http://nurisfm.blogspot.com/2012/05/jidat-hitam-benarkah-sunnah.html

Senin, Juni 04, 2012

6. JALAN KENABIAN


Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kelompok kaum Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung dari baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia karuniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus menerus, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka peroleh dari Nur Nabi Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat setelah priode sahabat adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung dari Rasulullah s.a.w tetap di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identitas mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di atas landasan kehambaan. Tidak ada percobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman rohani yang memabukkan. Banyak dari pengalaman yang ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah s.a.w.
Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung dari Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan tanpa bayangan.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita disiksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang ketika menerima jaminan syurga dari Rasulullah s.a.w. Syurga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir dari kecintaan mereka kepada Allah s.w.t yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenarnya hamba dengan Tuhan. Allah s.w.t mengajurkan  hamba-Nya menyintai akhirat dan syurga di samping benar-benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang dari dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di dunia ini. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan dunia ini, melaksanakan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, sungguh digembeling ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang ada pada mereka. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif  yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam masa satu tahun dari saat mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan dari melakukan shalat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa berkompromi dengan berhala. Mengenai shalat baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada Islam tanpa shalat.” Tentera Islam menempuh padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan syariat, termasuk shalat lima waktu. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga setelah baginda s.a.w. wafat. Kaum Muslimin wajib berpegang kepada syariat sampai akhir hayat mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas dari tuntutan syariat. Rasulullah s.a.w sendiri terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut adalah sesuatu yang terang dan jelas, tiada kesamaran. Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, berbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak peduli tentang tajalli Tuhan, Rahasia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperoleh yang demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelezatan di dalam shalat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak mengurus kehidupan harian sebagaimana layaknya manusia biasa tanpa perlu bersandar kepada kekeramatan. Mereka tetap dalam kesadaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dinamakan ilmu rahasia, ilmu isi atau yang seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak dipaksa berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekedar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampaui dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bershalat tahajjud adalah lebih baik. Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan orang-orang mengikutinya. Orang khusus juga bisa mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik maksyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Cinta yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah s.w.t berkaitan dengan kecintaan kepada peraturan Allah s.w.t dan makhluk-Nya. Tujuannya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t (syariat) sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah s.w.t karuniakan yang lebih baik dan lebih benar dari semua itu. Dikaruniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t karuniakan kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih dari bida’ah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikaruniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya dari gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang benar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan stempel-Nya (atas nama-NYA) di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam dari penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t. Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang rumit-rumit. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar cinta Allah s.w.t dan hampir dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk dengan menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia. Baginda s.a.w bekerja keras untuk mengobati penyakit-penyakit yang dihadapi oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem urusan masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, sesuai dengan akal budi manusia, mengimbangkan soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w membetulkan aspek lahiriah yang telah diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh dari zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran secara langsung dari baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan dari cara berkhalwat sendirian jauh dari Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih lebih dituntut dari mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia dari neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan faktor-faktor yang membentengi umat manusia dari sampai kepada kebenaran. Banyak golongan yang pada mulanya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia dari api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada aspek akhlak (nilai murni kemanusiaan) semata-mata tanpa tauhid, tidak akan memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti kefanatikan kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian jiwa dengan anasir keduniaan akan menarik manusia kembali kepada kerusakan akhlak. Banyak manusia yang memulai perjalanan mereka dengan baik sehingga memperoleh akhlak yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diisi oleh bermacam-macam anasir keduniaan dan kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas untuk membebaskan negara mereka dari penjajahan. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tidak diisi akidah itu bertukar menjadi tamak kekuasaan dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulai perniagaan mereka secara  jujur sehingga orang banyak memberi sokongan kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisi dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menimbun harta tanpa batasan sehingga harta orang-orang yang diamanahkan kepada mereka juga diselewengkan.
Revolusi akhlak akan hancur jika  ia tidak diiringi dengan revolusi akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya tarik kepada kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang berminat di bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan tasauf. Apabila bercerita tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan tasauf sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya digolongkan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan tasauf seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan.
Pemahaman tentang kewalian seperti ini harus dibetulkan. Harus diketahui bahwa orang yang menerima Islam secara langsung dari Rasulullah s.a.w adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar pengajaran dari baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak ada kewalian yang lebih tinggi dari kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian yang muncul setelah sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam golongan nama-nama wali Allah peringkat tertinggi yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, yang mendahuluinya adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan banyak lagi yang tergolong di dalam golongan wali-wali Allah peringkat tertinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai golongan nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam golongan wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Kebanyakan orang hendaknya jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang berada pada jalan kenabian seperti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani dinamakan wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengakuan dan sanjungan dari al-Quran dan didukung oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan mereka hanya dibesarkan oleh manusia sendiri, bukan pengakuan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama dari wali yang datang kemudian baik dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini mesti terhunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali peringkat tertinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian dari mereka telah disebut namanya oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti para sahabat baginda s.a.w sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi’e dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang dimasa oleh Abu Mukur yang ada zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.