Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kelompok kaum
Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah
mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung dari baginda s.a.w.
Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia karuniakan
kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus menerus, tanpa
dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka peroleh dari Nur Nabi
Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi
Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima
pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun
melindunginya. Umat setelah priode sahabat adalah umpama orang yang menerima
pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan
mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung dari Rasulullah s.a.w tetap
di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah
s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar
identitas mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan
bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan
bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena
baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila
jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada
Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan
penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di
atas landasan kehambaan. Tidak ada percobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi
Tuhan. Tidak ada pengalaman rohani yang memabukkan. Banyak dari pengalaman yang
ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami
oleh para sahabat Rasulullah s.a.w.
Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung dari
Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian
terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak
terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat
akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak
ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan
oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat
tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan
bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari
yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang,
tanpa rupa, tanpa warna dan tanpa bayangan.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat.
Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita disiksa oleh orang Banu Makhzum,
menjadi tenang ketika menerima jaminan syurga dari Rasulullah s.a.w. Syurga
yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir.
Kecintaan mereka kepada akhirat lahir dari kecintaan mereka kepada Allah s.w.t
yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak
meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah
s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat
dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin
menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah
s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah
s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip
menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan
kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan
syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenarnya hamba
dengan Tuhan. Allah s.w.t mengajurkan hamba-Nya menyintai akhirat dan
syurga di samping benar-benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang
berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang dari dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada
Tuhan dengan cara menjadi khalifah di dunia ini. Manusia sebagai khalifah atau
wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan dunia ini, melaksanakan peraturan
dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia
adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat manusia bekerja
sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada
manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang
manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat
penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan
semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, sungguh digembeling ke
arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa
raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang ada
pada mereka. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif yang
datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam masa satu tahun
dari saat mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan dari
melakukan shalat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa berkompromi dengan
berhala. Mengenai shalat baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada
Islam tanpa shalat.” Tentera Islam menempuh padang pasir, memikul senjata,
berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan
syariat, termasuk shalat lima waktu. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Khalifah
Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat.
Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga setelah baginda
s.a.w. wafat. Kaum Muslimin wajib berpegang kepada syariat sampai akhir hayat
mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas dari tuntutan syariat.
Rasulullah s.a.w sendiri terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan
baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin
kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin.
Pada jalan tersebut adalah sesuatu yang terang dan jelas, tiada kesamaran.
Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang
berat, berbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan
berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan
tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak
mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri. Cara yang diajarkan
oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam
zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang
menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak peduli tentang
tajalli Tuhan, Rahasia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang
seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang
yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia
berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperoleh yang
demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelezatan
di dalam shalat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak
mengurus kehidupan harian sebagaimana layaknya manusia biasa tanpa perlu
bersandar kepada kekeramatan. Mereka tetap dalam kesadaran, tidak dibawa ke
alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki
suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa
dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat
dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah
s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dinamakan ilmu rahasia, ilmu isi atau yang
seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak dipaksa berperang dengan
jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan
diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas.
Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekedar kejahatan yang dilakukan orang,
jangan melampaui dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik.
Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bershalat tahajjud adalah lebih baik.
Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang
demikian lebih memudahkan orang-orang mengikutinya. Orang khusus juga bisa
mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t
berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian
berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik maksyuk
sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Cinta yang rasional melahirkan
rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam
menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani
pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada
Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Pada jalan kenabian
kecintaan kepada Allah s.w.t berkaitan dengan kecintaan kepada peraturan Allah
s.w.t dan makhluk-Nya. Tujuannya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t (syariat)
sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana,
bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul
wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan
kenabian Allah s.w.t karuniakan yang lebih baik dan lebih benar dari semua itu.
Dikaruniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya
yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan
mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran
agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t karuniakan
kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar
dan bersih dari bida’ah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian
dikaruniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat
mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya dari gangguan
musuh-musuh agama. Merekalah yang benar-benar dipilih dan dilantik sebagai
khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan stempel-Nya (atas
nama-NYA) di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan
membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan
syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat
Islam dari penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam
nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t.
Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka
tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran.
Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang rumit-rumit. Tidak ada
tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah
dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa
berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar cinta
Allah s.w.t dan hampir dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di
dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan
mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara
khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah
takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan,
kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk dengan menjaga diri agar tidak
melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang
Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah
dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia.
Baginda s.a.w bekerja keras untuk mengobati penyakit-penyakit yang dihadapi
oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem
perekonomian, sistem urusan masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh
Rasulullah s.a.w mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, sesuai dengan
akal budi manusia, mengimbangkan soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w membetulkan aspek lahiriah yang telah
diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan
oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu
ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas
yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung
jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat
adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan
yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu
karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh dari
zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan
pengajaran secara langsung dari baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan dari
cara berkhalwat sendirian jauh dari Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih
lebih dituntut dari mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia dari
neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan
tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan
faktor-faktor yang membentengi umat manusia dari sampai kepada kebenaran.
Banyak golongan yang pada mulanya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam,
telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman
Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia dari api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan
perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah
dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah
berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina,
membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku
kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan
bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam
menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu
mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia
kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah
di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada
aspek akhlak (nilai murni kemanusiaan) semata-mata tanpa tauhid, tidak akan
memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi
akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia
yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan
dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada
perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia
akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti
kefanatikan kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian jiwa dengan
anasir keduniaan akan menarik manusia kembali kepada kerusakan akhlak. Banyak
manusia yang memulai perjalanan mereka dengan baik sehingga memperoleh akhlak
yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan
lahiriah jiwanya yang kosong diisi oleh bermacam-macam anasir keduniaan dan
kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai
murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas untuk
membebaskan negara mereka dari penjajahan. Setelah mencapai kemerdekaan dan
menjadi pemimpin, mereka yang tidak diisi akidah itu bertukar menjadi tamak kekuasaan
dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulai perniagaan
mereka secara jujur sehingga orang banyak memberi sokongan kepada mereka.
Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa
mereka yang kosong diisi dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menimbun
harta tanpa batasan sehingga harta orang-orang yang diamanahkan kepada mereka
juga diselewengkan.
Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak diiringi dengan revolusi
akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan
akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak
mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya tarik kepada kaum lain.
Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum
Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak
langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di
dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan
mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang berminat di bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya
tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan tasauf.
Apabila bercerita tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki
jalan tasauf sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani,
Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang
sufi biasanya digolongkan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara
khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan
merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai
wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan tasauf
seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak
ditonjolkan.
Pemahaman tentang kewalian seperti ini harus dibetulkan. Harus diketahui
bahwa orang yang menerima Islam secara langsung dari Rasulullah s.a.w adalah
wali Allah. Wali-wali Allah yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar
pengajaran dari baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar
tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di
samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak
ada kewalian yang lebih tinggi dari kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w.
Kewalian yang muncul setelah sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak
melebihi kewalian para sahabat. Di dalam golongan nama-nama wali Allah
peringkat tertinggi yang se zaman dengan Rasulullah s.a.w, yang mendahuluinya
adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin
Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin
Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan
anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar
bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin
Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada
dan banyak lagi yang tergolong di dalam golongan wali-wali Allah peringkat tertinggi
yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai
golongan nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang
kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam golongan wali-wali yang datang
kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil
kepada kewalian itu sendiri. Kebanyakan orang hendaknya jangan lupa untuk
melihat kewalian orang-orang yang berada pada jalan kenabian seperti Imam Syafi’e,
Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan
lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang
kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan
lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin
al-Afghani dinamakan wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w,
termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengakuan dan sanjungan
dari al-Quran dan didukung oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran
dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan
mereka hanya dibesarkan oleh manusia sendiri, bukan pengakuan secara langsung
oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama dari wali
yang datang kemudian baik dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian.
Kenyataan ini mesti terhunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan
kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali
peringkat tertinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau
orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w
tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian dari mereka telah
disebut namanya oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga
memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti para sahabat baginda s.a.w
sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi’e
dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para
sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari
perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar
kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan
perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang dimasa oleh Abu Mukur yang ada
zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.